Rabu, 06 Oktober 2021

CERPEN "BUDI TELAH MATI" | MIA ISMED

 





Gedung beratap biru dengan tembok putih hanya tinggal bayang-bayang. Sosok Budi tak terlihat. Yang ada hanya bayangannya yang terus menggelinjang dalam pikiran. Sang guru pun mengamini Budi sebagai sosok pahlawan yang dielu-elukan. Kini telah mati. Guru berduka pun gedung itu seakan linglung mencari sosok Budi yang dipeluknya sampai ke lorong-lorong waktu. Karena Budi benar-benar telah tiada.

Suasana kantor terlihat lengang. Penunjuk waktu tepat di angka 9 dan 12. Halaman yang hijau juga terlihat sepi. Hanya beberapa guru yang berada di kantor yang kebetulan menanti jam pelajaran sesui jadwalnya. Seorang perempuan berperawakan sedang terlihat tergesa-gesa memasuki ruangan itu. Tersirat dalam raut wajahnya sedang emosi yang menggebu-gebu.

Saya benar-benar kecewa dengan guru-guru di sini. Anak saya penurut, mengapa dizalimi? Atau bapak-ibu guru di sini belum kenal suami saya siapa ya? Kalau perlu, kasus ini saya bawa ke atas! Wanita itu masuk tanpa permisi dan langsung marah- marah menemui guru yang berada di ruangan itu.

Sabar, Bu, tolong Anda tenang dulu. Silakan duduk. Kita bicara baik-baik. Jangan terbawa emosi. Pak Bastian berusaha meredam emosi wanita itu.

Apa Bapak bilang? Saya emosi? Terang sajalah. Anak saya dihukum suruh ngepel WC tempo hari dan kemarin ada surat panggilan lagi. Saya sangat terpukul ketika anak saya pulang bukannya memakai seragam sekolah, malah pakai sarung. Katanya disetrap guru Biologi, disuruh ganti sarung disaat jam pelajaran. Ini sebuah pelecehan, Pak! Saya ini keluarga terpandang! jelasnya panjang-lebar.


 

Jadi Anda ibunya Gracelio?Iya, saya mami Gracel.

Sebelumnya kami minta maaf atas sanksi yang telah kami terapkan untuk anak Ibu. Kami menghukum anak Ibu semata-mata supaya dia menaati peraturan yang diberlakukan di sekolah. Dan agar lebih menghormati guru. Tak ada maksud lain. Semua yang dikatakan anak ibu itu benar. Tapi tahukah Ibu permasalahan sesungguhnya? Anak ibu sering membuat ulah. Sekali-dua kali ditegur tak pernah mengindahkan nasihat guru.

Jadi secara tak langsung Bapak mengatakan bahwa Gracel nakal gitu? Apa nggak salah, Pak? Anak-anak berulah itu karena gurunya sering meninggalkan tugas. Kabarnya, guru sering rapat. Atau malahan keluyuran ya? Dan saya semakin tahu kalau guru- guru di sini gila hormat. Senyum ibu itu makin sinis saja.

Maaf, Ibu. Sebaiknya Ibu tidak terlalu berasumsi negatif kepada kami. Memang akhir-akhir ini guru-guru diwajibkan mengikuti pelatihan kurikulum dari pemerintah pusat. Itu sebabnya anak-anak sering diberikan tugas. Tapi kami tidak pernah meninggalkan kewajiban sebagai pendidik. Jadi salah besar ketika Ibu bilang bahwa kami meninggalkan tanggung- jawab. Pak Bastian berusaha menjelaskan.

Pokoknya saya masih tidak terima anak saya dipermalukan di depan teman-temannya! Ini pembunuhan karakter namanya. Sekolah kok disuruh pakai sarung! Apa-apaan ini? Memangnya SMP ini sudah berubah ya jadi pesantren atau apa? Saya mau ketemu Bu Farida, guru yang menghukum anak saya itu!

Maaf Bu, Bu Farida kebetulan hari ini dinas luar. Kami berharap masalah ini kita bicarakan secara baik-baik. Tak perlu gegabah. Ini hanya soal salah paham saja.

Salah paham bagaimana sih? Anak saya pulang pakai sarung dan Bapak bilang ini soal salah paham. Kami sebagai orang tua malu. Apa kata tetangga-tetangga saya, Pak? Bapaknya ini pejabat, orang terhormat di daerah ini. Kalau sampai staf- stafnya tahu anak bosnya dipermalukan di sekolah, apa kata mereka? Tercoreng muka kami, Pak!

Suasana ruang guru semakin gaduh. Pak Bastian, guru agama, dibuat kewalahan dengan kemarahan ibu Graselio yang semakin memanas. Dari balik pintu, terlihat wanita anggun dengan hijab lebar menengahi pembicaraan keduanya.

Selamat pagi, Ibu, ada yang bisa saya bantu? Perkenalkan, saya Rusma, guru BK di sekolah ini. Diulurkan tangannya yang lembut itu, namun wanita di depannya tak mau membalas uluran tangan.

Kebetulan bisa ketemu Anda. Terus terang ya, saya sebagai orang tua Gracelio tidak terima atas hukuman yang diberlakukan sekolah ini kepada anak saya.

Tenang, Ibu, saya mengerti apa yang Ibu rasakan. Karena saya juga seorang ibu. Sebaiknya kita jangan memandang masalah itu hanya dari satu sisi. Mari kita duduk santai di ruangan BK, akan saya jelaskan duduk permasalahannya. Bu Rusma menggajak ibu Graselio di ruangan BK yang terdapat di sudut gedung.

Silakan duduk, Ibu. Akhir-akhir ini Gracelio memang terlihat minta diperhatikan. Dia anak baik, tapi bulan-bulan terakhir ada yang membuatnya ingin diperhatikan. Kalau boleh saya tahu, apakah Gracelio di rumah ada masalah?

Masalah bagaimana? Semua baik-baik saja kok. Kita ini keluarga yang berkecukupan. Apapun yang diminta Gracel kami turuti. Asal Ibu tahu saja, Gracel itu anak semata wayang kami.Tampaknya ibu Gracel masih saja belum bisa diajak bicara baik- baik.

Berdasarkan hasil laporan beberapa guru yang mengajar di kelasnya, dia sering tidak mengerjakan tugas PR dan beberapa kali bolos sekolah. Akibatnya, minggu lalu dia diberikan sanksi mengepel WC sama seperti siswa lainnya. Kemudian tempo hari Graselio berulah lagi. Padahal teguran memakai celana pencil itu sudah dilarang beberapa kali. Dan ini sudah tertera di dalam buku kuning tentang aturan siswa, juga poin-poinnya. Kami memang telah menyepakati bersama, jika siswa memakai celana pencil dalam beberapa kali teguran tidak diindahkan, tentunya dalam batasan waktu tertentu kita akan menerapkan sarung sebagai bawahan sampai benar-benar anak tersebut memperbaiki model celananya.

O, jadi hanya soal model celana? Asal Ibu tahu saja, saya dalam detik ini juga bisa beli seratus celana yang Ibu minta. Jadi nggak harus dong ibu memaksa anak saya memakai sarung. Tinggal bilang aja kok repot.

Maaf, Ibu, ini bukan masalah kemampuan harus beli berapa banyak. Tapi kami menerapkan peraturan semata untuk mendidik dan memberikan efek jera. Jadi ibu tak perlu tersinggung, apalagi marah. Jadi selama ini Gracelio nggak pernah cerita ke Ibu kalau disuruh mengubah model celananya?

Ya tidak begitu dong, Bu. Anak saya ini capek, pulang sekolah harus les. Soal begituan itu nggak penting. Asal Ibu tahu saja, bapaknya sudah membayar mahal guru-guru les yang professional. Ibu kan bisa menghubungi nomor HP saya untuk konfirmasi masalah celana. Jangan asal nyuruh-nyuruh anak seperti itu, Bu. Itu melanggar HAM lho, Bu. Juga pencemaran nama baik orang tuanya.

Justru kami dengan segala hormat selalu mengirimkan panggilan untuk orang tua melalui surat resmi. Itu semata karena kita menghormati Ibu sebagai wali murid. Surat itu bukan berarti kami menghakimi anak Ibu sebagai pesakitan. Kami berusaha ingin sharing dengan orang tua untuk memperbaiki perilaku anak.”

Sudahlah, saya tak perlu mendengar penjelasan yang buang-buang waktu. Jadi, kapan ini saya bisa dipertemukan dengan Ibu Farida? Saya mau ketemu ngomong empat mata sama guru itu. Kasus ini saya anggap belum selesai. Saya sangat merahasiakan dari suami saya. Kalau suami saya tahu, saya nggak tahu apa yang bakalan terjadi. Bisa-bisa Bu Farida diperkarakan. Dan sekolah ini terancam di-black list oleh Pemda.

Baiklah jika Ibu sangat ingin bertemu Ibu Farida. Ini saya berikan nomor HP beliau. Barangkali Ibu bisa janjian dan ketemu langsung.

O, tentu harus saya temui Farida, biar tau siapa orang tua Gracelio. Permisi.

Ruang BK itu berubah hening. Perempuan itu pergi dengan ketus. Bu Rusma sebagai Guru BK tetap harus tegak menerapkan aturan sekolah. Disibaknya gorden jendela. Dipandanginya halaman sekolah dengan penuh harap. Terlihat sepatu hitam tersusun rapi di samping-samping pintu. Generasi itu perlu diselamatkan dari keegoan orang-orang yang mengatasnamakan kekuasaan dan jabatan. Dalam hatinya terus meronta, Semua mempunyai hak yang sama dan peraturan yang sama, gumamnya lirih. Di manakah sosok budi itu? Apakah budi benar-benar telah mati? pikirnya.

***

Sore itu ada semacam kegalauan yang bergumpal di hati Bu Rusma. Perempuan itu menemui lelaki tua yang sedang asyik memandikan burung-burung piaraannya di depan rumah.

Pak, dulu semasa Bapak jadi guru, apakah bapak merasa capek dengan kelakuan anak-anak?

Maksudmu menghadapi anak-anak Rus? Ibarat cangkul, anak-anak adalah sawah ladangmu. Bagaimana caranya kamu merawat ladangmu supaya tanaman yang kauhasilkan bisa berbuah. Tentunya harus dengan cara. Jadi guru itu harus sabar. Niatkan ibadah. Sebetulnya nggak ada istilah anak nakal, yang ada anak yang belum mengerti, belum nalar. Ketika kita menghakimi anak itu nakal, berarti kita pendidik masih belum dikatakan sabar. Sebagai pendidik alangkah tergesa-gesanya kita melihat hasil daripada proses.

Tapi, Pak, yang saya tak mengerti, anak-anak sekarang dibela mati-matian oleh orang tuanya sendiri. Padahal sudah jelas-jelas anak itu bersalah.

Lebih tepatnya budi pekerti saat ini sudah luntur, Rus. Dulu ketika zaman bapak mengajar, anak-anak diajari membaca saja sudah dengan dasar pakerti. Kamu tahu nggak makna dibalik bacaan INI BUDI? Budi pekerti itu sebagai dasar pendidikan. Ndak asal-asalan Siti Rahmani Rauf membuat buku itu. Lha coba kamu lihat sekarang ini masih ada apa nggak pelajaran yang begitu. Melalui pelajaran kita bisa menanamkan sikap?

Saat ini anak-anak sudah terdidik oleh teknologi, Pak. Kadang saya berpikir, siapakah yang salah? Pemerintah selalu menerapkan kurikulum baru dengan berbagai metode untuk kemajuan pendidikan kita, tapi semakin ke sini anak-anak mulai jauh dari pekerti. Selama ini saya lihat pendidik dituntut professional dengan mengikuti pelatihan berkaitan dengan pergantian kurikulum untuk mengejar target-target yang lebih menitik beratkan pada nilai.

Hasil maksudmu? Hasil pendidikan itu sebenarnya apa to? Nilai yang tinggi atau manusia yang bernilai? Pendidikan kan hakikatnya pendewasaan sikap. Jika yang diukur adalah hasil kepintaran, ya hasilnya bukan pekerti to, Rus? Akibatnya, banyak orang pinter yang keblinger. Ya nggak? Di mana-mana orang memintari orang. Apalagi punya ijazah luar negeri, wo… bisa membabi-buta. Coba kamu pikirkan, sepintar apapun otodidak yang dilakukan manusia di negeri ini, tak akan diakui tanpa adanya sertifikasi. Ijazah itu lho maksud bapak. Bukti tertulis. Cari kerja saja yang ditanya lebih dulu, kamu lulusan dari mana kok. Bukan bisamu apa. Ya nggak?

Ya, Pak, lebih tepatnya kita dihantui oleh nilai-nilai mata pelajaran. Setiap tahun standar kelulusan selalu ditargetkan lebih tinggi. Tak jarang kita dapati anak-anak justru stres dan melakukan perbuatan yang menyimpang setelah ujian.

Ya itu tadi, Rus, zamanmu ini yang dihargai cuma ijazah. Kalau nggak punya ijazah nggak bisa kerja, nggak diakui. Perkara itu ijazah beli atau palsu, ya itu urusan nanti. Benar tidak? Coba kamu perhatikan, setelah kelulusan anak-anak zaman sekarang ini layaknya jagoan yang keluar dari kandang. Baju dicorat- coret, ngebut-ngebutan, konvoi di jalanan raya. Ujung-ujungnya apa? Tawuran. Coba bapak tanya sama kamu, apa guru ngajari demikian? Tidak to? Sepertinya, anak-anak kita mulai gagal nalar. Mengikuti tren karena tuntutan eksistensi.

Itu  yang  sebenarnya  kami  para  pendidik  resahkan. Pendidikan sebenarnya adalah tugas bersama. Bukan mutlak


pendidik saja. Keluarga, lingkungan masyarakat, dan juga media andil ambil bagian. Salah besar ketika kita hanya menyerahkan anak-anak kita ke pihak sekolah. Sementara keluarga berusaha lepas tangan. Lagi-lagi pendidiklah yang seakan-akan salah.

Anak-anak kan sebenarnya gambaran orang tua. Ketika orang tua nggak mau tahu, nggak memberikan tanggung-jawab yang besar, akibatnya akan melahirkan anak-anak cengeng yang sebentar-sebentar mengadu. Ndak usah jauh-jauh, Rus. Anak- anak belajar bertanggung-jawab pada barang milik mereka adalah bagian terpenting dalam hidup. Itu sebagian dari pendidikan nilai. Dulu, Rus, bapakmu ini paling takut ditegur sama guru. Guru datang dari kejauhan kami sudah berjajar rapi menyambut dengan salam, membawakan tasnya menuntun sepedanya. Sampai di kelas tangan sedekap, nggak ada yang berani bicara. Apalagi sampai dijewer, dengan sangat takut  berusaha  merahasiakan ke orang tua. Lha kalau bilang ke kakekmu, bapakmu ini justru malah dihajar karena membuat malu.

Jadi menurut Bapak, apakah ada yang salah dengan pendidikan kita saat ini?

Salah sih tidak, Rus. Bagaimanapun, pemerintah sudah mengupayakan untuk kemajuan pendidikan. Sekarang ini kita sedang perang informasi. Dulu nggak ada telepon genggam, nggak ada akses internet. Adanya radio. Televisi saja masih jarang. Meskipun ada, ya cuma satu chanel, itu pun hitam-putih. Coba kamu cermati acara-acara televisi saat ini, hanya beberapa persen yang mendidik, selebihnya hiburan yang tidak mendidik. Itu karena teknologi sudah tak dapat dibendung lagi. Semua bebas mengakses. Mau tua, mau muda, bahkan bayi baru lahir saja sudah diajari orang tua mengenal teknologi lho, ya ndak? Selfi contohnya. Mau makan difoto dulu sampai lupa berdoa.

Semakin berat memang tantangan pendidik saat ini, Pak.

Jangan menyerah gitu, Rus. Lakukan sesuai rambu-rambu. Setiap pendidik adalah insan belajar. Belajar dari apa saja. Yang kalian jumpai tiap hari itu makhluk hidup yang punya hati dan nalar. Memang menjadi guru itu tidak mudah. Guru tidak hanya bertugas menjadi pengajar tapi juga harus bisa mendidik. Ketika kaujumpai anak-anak mulai berulah, itu berarti ada sesuatu yang melatar belakangi. Ingat niatkan ibadah.

Iya, Pak. Insyaallah saya akan selalu belajar dari anak-anak supaya lebih tahu artinya sabar dan mengabdi.

Tentu saja. Kamu bisa mengatasinya, Bu Rusma, anak manis kesayangan bapak.

Bapak membelai wajah Bu Rusma sebagai bentuk perhatian yang mendalam.

***

Malam itu, Bu Rusma termenung di depan notebook kesayangannya. Tangannya dengan terampil mengisi blog pribadinya. Ada renungan di balik kisah sebuah judul yang ditulisnya.

Ketika kita mengeluh, maka beban kita akan semakin berat. Bukankan setiap hal kita sedang bersahabat dengan masalah sehingga kita bisa menyelesaikan dengan jawaban? Dulu ketika aku kecil, menjadi guru adalah sesuatu yang kuimpikan. Setiap kali bapak atau guruku bertanya, “Rusma, apa cita-citamu kelak ketika engkau dewasa?” Jawabku dengan tegas adalah guru. Sampai aku sangat ingat sekali ketika bapak bertanya saat aku mengikuti UMPTN tahun 97 ketika itu. Aku sangat yakin pilihanku adalah yang terbaik untuk hidupku. Kutulis sebait puisi untukmu anak-anakku. Aku ingin kau mengenal budi tak sekedar nama. Tapi budi saat ini benar-benar sedang kaulupakan. Ibu akan mengenalkannya untukmu sampai kapan pun.

(KUMPULAN CERPEN JEJAK KOPI KARYA MIA ISMED)

 

Tags :

SMAN 1 KARANG BINTANG

KI HAJAR DEWANTARA

  • " Ing ngarso sang Tulodo " ( Di depan memberi Contoh )
  • " Ing Madyo Mangun Karso " ( Di tengah Memberi Bimbingan )
  • " Tut Wuri Handayani " (Di belakang Memberi Dorongan )

  • : SMAN 1 KARANG BINTANG
  • : 13 SEPTEMBER
  • : TANAH BUMBU - KALIMANTAN SELATAN
  • : smanonekarangbintang@gmail.com
  • : 0852-4770-6777

Posting Komentar