CERPEN "BUDI TELAH MATI" | MIA ISMED
Gedung beratap biru dengan
tembok putih hanya tinggal bayang-bayang.
Sosok Budi tak terlihat. Yang ada
hanya bayangannya yang terus
menggelinjang dalam pikiran.
Sang guru pun mengamini Budi
sebagai sosok pahlawan yang dielu-elukan. Kini telah mati. Guru berduka pun
gedung itu seakan linglung mencari sosok Budi yang dipeluknya sampai ke
lorong-lorong waktu. Karena Budi benar-benar telah tiada.
Suasana kantor terlihat
lengang. Penunjuk
waktu tepat di angka 9 dan 12. Halaman yang hijau juga
terlihat sepi. Hanya beberapa guru yang berada di kantor yang kebetulan menanti
jam pelajaran sesui jadwalnya. Seorang
perempuan berperawakan sedang
terlihat tergesa-gesa memasuki ruangan itu. Tersirat dalam raut
wajahnya sedang emosi
yang menggebu-gebu.
“Saya benar-benar kecewa dengan guru-guru di sini. Anak saya penurut, mengapa
dizalimi? Atau bapak-ibu guru di sini belum
kenal suami saya siapa ya? Kalau perlu,
kasus ini saya bawa
ke atas!” Wanita itu masuk tanpa permisi dan langsung marah- marah menemui guru yang berada di ruangan itu.
”Sabar, Bu, tolong Anda tenang dulu. Silakan
duduk.
Kita bicara baik-baik. Jangan terbawa emosi.” Pak Bastian berusaha meredam
emosi wanita itu.
“Apa Bapak bilang? Saya emosi? Terang sajalah. Anak saya dihukum suruh ngepel WC tempo hari dan kemarin ada surat panggilan lagi. Saya sangat terpukul ketika anak saya pulang bukannya memakai
seragam sekolah, malah pakai sarung. Katanya
disetrap guru Biologi,
disuruh ganti sarung
disaat jam pelajaran. Ini sebuah pelecehan, Pak! Saya ini
keluarga terpandang!” jelasnya panjang-lebar.
“Jadi Anda ibunya Gracelio?” “Iya, saya mami Gracel.”
“Sebelumnya kami minta maaf atas sanksi yang telah kami terapkan untuk
anak Ibu. Kami menghukum anak Ibu semata-mata supaya dia menaati peraturan yang
diberlakukan di sekolah. Dan agar lebih menghormati guru. Tak ada maksud lain. Semua yang dikatakan anak ibu itu
benar. Tapi tahukah
Ibu permasalahan sesungguhnya? Anak ibu sering membuat ulah. Sekali-dua kali ditegur tak pernah mengindahkan nasihat guru.”
“Jadi secara tak langsung Bapak mengatakan bahwa Gracel nakal gitu? Apa nggak
salah, Pak? Anak-anak berulah itu karena gurunya sering meninggalkan tugas.
Kabarnya, guru sering
rapat. Atau malahan keluyuran
ya? Dan saya semakin tahu kalau guru- guru di sini gila hormat.” Senyum ibu itu makin sinis saja.
“Maaf, Ibu. Sebaiknya
Ibu
tidak terlalu berasumsi
negatif kepada kami. Memang akhir-akhir ini guru-guru
diwajibkan mengikuti pelatihan kurikulum dari pemerintah pusat. Itu sebabnya
anak-anak sering diberikan tugas. Tapi kami tidak pernah meninggalkan kewajiban
sebagai pendidik. Jadi salah besar ketika Ibu bilang bahwa kami meninggalkan
tanggung- jawab.” Pak Bastian berusaha menjelaskan.
“Pokoknya saya masih tidak terima anak saya dipermalukan di depan
teman-temannya! Ini pembunuhan karakter namanya.
Sekolah kok disuruh pakai sarung!
Apa-apaan ini? Memangnya SMP ini sudah berubah ya jadi
pesantren atau apa? Saya mau ketemu Bu Farida, guru yang menghukum anak saya itu!”
“Maaf Bu, Bu Farida kebetulan hari ini dinas luar. Kami berharap masalah ini kita bicarakan secara
baik-baik. Tak perlu gegabah.
Ini
hanya
soal salah paham saja.”
”Salah paham bagaimana sih? Anak saya pulang pakai sarung
dan
Bapak bilang ini soal salah paham.
Kami sebagai orang tua malu.
Apa kata tetangga-tetangga saya,
Pak? Bapaknya ini pejabat,
orang terhormat di daerah ini. Kalau sampai staf- stafnya tahu anak bosnya dipermalukan di sekolah, apa kata mereka? Tercoreng muka kami, Pak!”
Suasana ruang guru semakin gaduh.
Pak Bastian, guru agama, dibuat kewalahan
dengan kemarahan ibu Graselio yang semakin
memanas. Dari balik pintu, terlihat wanita anggun dengan hijab lebar menengahi pembicaraan keduanya.
”Selamat pagi, Ibu, ada yang bisa saya bantu? Perkenalkan, saya Rusma, guru BK di sekolah ini.” Diulurkan tangannya yang lembut itu, namun
wanita di depannya
tak mau membalas
uluran tangan.
”Kebetulan bisa ketemu Anda. Terus terang ya, saya sebagai orang tua Gracelio
tidak terima atas hukuman yang diberlakukan
sekolah ini kepada anak saya.”
”Tenang, Ibu, saya mengerti apa yang Ibu rasakan. Karena saya juga seorang ibu. Sebaiknya kita jangan memandang masalah itu hanya dari satu sisi. Mari
kita duduk santai di ruangan BK, akan saya jelaskan duduk permasalahannya.” Bu Rusma menggajak ibu Graselio di
ruangan BK yang terdapat di sudut gedung.
“Silakan duduk, Ibu. Akhir-akhir ini Gracelio memang terlihat minta diperhatikan. Dia anak baik, tapi bulan-bulan
terakhir ada yang membuatnya ingin diperhatikan. Kalau boleh
saya tahu, apakah Gracelio di rumah ada masalah?”
“Masalah bagaimana? Semua baik-baik saja kok. Kita ini keluarga yang
berkecukupan. Apapun
yang diminta Gracel
kami turuti. Asal Ibu
tahu saja, Gracel itu anak semata wayang kami.” Tampaknya ibu Gracel masih
saja belum bisa diajak bicara
baik- baik.
“Berdasarkan hasil
laporan beberapa guru
yang mengajar di kelasnya, dia sering tidak
mengerjakan tugas PR dan beberapa kali bolos sekolah. Akibatnya, minggu lalu dia diberikan sanksi mengepel WC sama seperti siswa
lainnya. Kemudian tempo
hari Graselio berulah lagi.
Padahal teguran memakai
celana pencil itu sudah dilarang beberapa kali.
Dan ini sudah
tertera di dalam
buku kuning tentang aturan
siswa, juga poin-poinnya. Kami memang telah
menyepakati bersama, jika siswa memakai celana pencil dalam beberapa kali
teguran tidak diindahkan, tentunya dalam batasan waktu tertentu kita akan menerapkan sarung sebagai bawahan sampai
benar-benar anak tersebut memperbaiki model celananya.”
“O, jadi hanya soal model celana? Asal Ibu
tahu saja, saya dalam
detik ini juga bisa beli seratus celana yang Ibu minta. Jadi nggak harus dong ibu memaksa anak saya memakai sarung. Tinggal
bilang aja kok repot.”
”Maaf, Ibu, ini bukan masalah kemampuan harus beli berapa
banyak. Tapi
kami menerapkan
peraturan semata untuk mendidik dan memberikan efek jera. Jadi ibu tak
perlu tersinggung, apalagi marah. Jadi
selama ini Gracelio nggak pernah cerita ke Ibu kalau disuruh mengubah model celananya?”
“Ya tidak begitu dong, Bu. Anak saya ini capek, pulang sekolah
harus les. Soal begituan itu nggak penting. Asal Ibu tahu saja,
bapaknya sudah membayar
mahal guru-guru les yang
professional. Ibu kan bisa menghubungi nomor HP saya untuk
konfirmasi masalah celana. Jangan asal nyuruh-nyuruh anak seperti itu, Bu. Itu melanggar HAM lho, Bu. Juga pencemaran
nama baik orang tuanya.”
”Justru kami dengan segala hormat selalu mengirimkan panggilan untuk
orang tua melalui
surat resmi. Itu semata
karena kita menghormati Ibu
sebagai wali murid.
Surat itu bukan
berarti kami menghakimi anak Ibu sebagai pesakitan. Kami berusaha ingin sharing dengan orang tua untuk
memperbaiki perilaku anak.”
”Sudahlah, saya tak perlu mendengar penjelasan yang buang-buang
waktu. Jadi,
kapan ini saya bisa dipertemukan dengan Ibu Farida? Saya
mau ketemu ngomong empat mata sama guru itu. Kasus ini saya anggap belum
selesai. Saya sangat merahasiakan dari suami saya. Kalau suami saya tahu, saya nggak
tahu apa yang bakalan terjadi. Bisa-bisa Bu Farida diperkarakan. Dan sekolah ini terancam di-black list oleh Pemda.”
“Baiklah jika Ibu sangat ingin bertemu Ibu Farida. Ini saya berikan nomor HP beliau.
Barangkali Ibu bisa janjian dan ketemu
langsung.”
”O, tentu harus saya temui Farida, biar tau siapa orang tua Gracelio. Permisi.”
Ruang BK itu berubah hening.
Perempuan itu pergi dengan ketus. Bu Rusma sebagai
Guru BK tetap harus tegak menerapkan
aturan sekolah. Disibaknya gorden jendela. Dipandanginya halaman sekolah dengan penuh harap. Terlihat sepatu hitam
tersusun rapi di samping-samping pintu. Generasi itu perlu diselamatkan dari keegoan orang-orang yang mengatasnamakan kekuasaan dan jabatan. Dalam hatinya terus meronta, “Semua mempunyai hak yang sama dan peraturan yang sama,” gumamnya lirih. “Di manakah sosok budi itu? Apakah budi benar-benar telah mati?” pikirnya.
***
Sore itu ada semacam kegalauan yang bergumpal di hati
Bu Rusma. Perempuan itu menemui lelaki
tua yang sedang
asyik memandikan burung-burung piaraannya di depan rumah.
“Pak, dulu semasa Bapak jadi guru, apakah bapak merasa capek dengan kelakuan anak-anak?”
“Maksudmu menghadapi anak-anak Rus? Ibarat cangkul, anak-anak
adalah sawah ladangmu. Bagaimana caranya kamu merawat
ladangmu supaya tanaman
yang kauhasilkan bisa berbuah.
Tentunya harus dengan cara. Jadi
guru itu harus sabar. Niatkan ibadah.
Sebetulnya nggak ada istilah anak
nakal, yang ada anak yang belum mengerti, belum nalar. Ketika kita menghakimi anak itu nakal, berarti kita pendidik masih belum dikatakan
sabar. Sebagai pendidik alangkah tergesa-gesanya kita
melihat hasil daripada proses.”
“Tapi, Pak,
yang saya
tak
mengerti, anak-anak sekarang dibela
mati-matian oleh orang tuanya sendiri. Padahal sudah jelas-jelas anak
itu bersalah.”
“Lebih tepatnya budi pekerti saat ini sudah luntur, Rus. Dulu ketika
zaman bapak mengajar, anak-anak diajari membaca
saja sudah dengan dasar pakerti.
Kamu tahu nggak makna
dibalik bacaan INI BUDI? Budi pekerti itu sebagai dasar pendidikan. Ndak
asal-asalan Siti Rahmani Rauf membuat buku itu. Lha coba kamu
lihat sekarang ini
masih ada apa
nggak pelajaran yang begitu. Melalui pelajaran kita bisa menanamkan sikap?”
“Saat ini anak-anak sudah terdidik oleh teknologi, Pak. Kadang saya berpikir,
siapakah yang salah? Pemerintah selalu
menerapkan kurikulum baru dengan
berbagai metode untuk kemajuan pendidikan kita, tapi semakin ke sini anak-anak mulai jauh dari pekerti. Selama
ini saya lihat pendidik dituntut
professional dengan mengikuti
pelatihan berkaitan dengan pergantian kurikulum untuk mengejar
target-target yang lebih menitik beratkan pada nilai.”
“Hasil maksudmu? Hasil pendidikan itu sebenarnya apa to? Nilai yang tinggi
atau manusia yang bernilai? Pendidikan
kan hakikatnya pendewasaan sikap. Jika yang
diukur adalah hasil kepintaran, ya hasilnya bukan
pekerti to, Rus? Akibatnya, banyak orang pinter yang keblinger.
Ya nggak?
Di mana-mana orang memintari
orang. Apalagi punya ijazah luar negeri, wo…
bisa membabi-buta. Coba kamu pikirkan, sepintar
apapun otodidak yang dilakukan manusia di negeri ini, tak akan diakui tanpa adanya sertifikasi. Ijazah itu
lho maksud bapak. Bukti tertulis. Cari kerja saja yang ditanya
lebih dulu, kamu lulusan dari mana
kok. Bukan bisamu apa. Ya nggak?”
“Ya, Pak, lebih tepatnya kita dihantui oleh nilai-nilai mata pelajaran.
Setiap tahun standar kelulusan selalu ditargetkan lebih tinggi. Tak jarang kita dapati anak-anak justru
stres dan melakukan perbuatan yang menyimpang setelah
ujian. ”
“Ya itu tadi, Rus, zamanmu ini yang dihargai cuma ijazah. Kalau nggak
punya ijazah nggak
bisa kerja, nggak
diakui. Perkara itu ijazah
beli atau palsu, ya itu urusan
nanti. Benar tidak?
Coba kamu perhatikan, setelah
kelulusan anak-anak zaman sekarang
ini layaknya jagoan yang keluar dari kandang. Baju dicorat- coret, ngebut-ngebutan, konvoi di jalanan raya.
Ujung-ujungnya apa? Tawuran.
Coba bapak tanya sama kamu, apa guru ngajari
demikian? Tidak to? Sepertinya, anak-anak kita mulai gagal
nalar. Mengikuti tren karena tuntutan eksistensi.”
“Itu yang sebenarnya kami para pendidik resahkan. Pendidikan
sebenarnya adalah tugas bersama. Bukan mutlak
pendidik saja.
Keluarga, lingkungan masyarakat, dan juga media andil ambil bagian. Salah besar ketika
kita hanya menyerahkan anak-anak kita ke pihak sekolah. Sementara
keluarga berusaha lepas tangan. Lagi-lagi pendidiklah yang seakan-akan salah.”
“Anak-anak kan sebenarnya gambaran orang tua. Ketika orang tua nggak mau tahu, nggak memberikan
tanggung-jawab yang besar, akibatnya
akan melahirkan anak-anak cengeng yang sebentar-sebentar mengadu. Ndak usah
jauh-jauh, Rus. Anak- anak belajar bertanggung-jawab pada barang milik mereka adalah bagian terpenting dalam hidup. Itu sebagian dari pendidikan nilai. Dulu,
Rus, bapakmu ini paling takut ditegur sama guru. Guru datang dari kejauhan kami
sudah berjajar rapi menyambut dengan salam, membawakan tasnya menuntun sepedanya. Sampai di kelas tangan sedekap, nggak ada yang berani bicara.
Apalagi sampai dijewer, dengan sangat takut
berusaha merahasiakan
ke orang tua. Lha kalau bilang ke kakekmu, bapakmu ini justru malah dihajar karena membuat malu.”
“Jadi menurut Bapak, apakah ada yang salah dengan pendidikan kita saat ini?”
“Salah sih tidak, Rus. Bagaimanapun, pemerintah sudah mengupayakan untuk kemajuan pendidikan. Sekarang ini
kita sedang perang informasi. Dulu nggak ada
telepon genggam, nggak ada akses
internet. Adanya
radio. Televisi
saja masih jarang. Meskipun ada, ya cuma satu chanel,
itu pun hitam-putih. Coba kamu cermati acara-acara televisi saat ini,
hanya beberapa persen yang mendidik, selebihnya hiburan
yang tidak mendidik. Itu karena teknologi
sudah tak dapat dibendung lagi. Semua bebas mengakses. Mau tua, mau muda,
bahkan bayi baru lahir saja sudah diajari orang
tua mengenal teknologi lho, ya ndak?
Selfi contohnya. Mau makan difoto dulu sampai lupa berdoa.”
“Semakin berat memang tantangan pendidik saat ini, Pak.”
“Jangan menyerah gitu, Rus. Lakukan sesuai rambu-rambu. Setiap pendidik adalah insan
belajar. Belajar
dari apa saja.
Yang kalian jumpai
tiap hari itu makhluk hidup
yang punya hati dan
nalar. Memang menjadi guru itu tidak
mudah. Guru tidak
hanya bertugas menjadi pengajar tapi juga harus
bisa mendidik. Ketika kaujumpai anak-anak mulai
berulah, itu berarti
ada sesuatu yang melatar belakangi. Ingat niatkan ibadah.”
“Iya, Pak. Insyaallah saya akan selalu belajar dari anak-anak supaya lebih tahu artinya sabar dan mengabdi.”
“Tentu saja. Kamu bisa mengatasinya, Bu Rusma, anak manis kesayangan bapak.”
Bapak membelai wajah Bu Rusma
sebagai bentuk perhatian yang mendalam.
***
Malam itu, Bu Rusma termenung di depan notebook
kesayangannya. Tangannya dengan terampil mengisi blog pribadinya. Ada
renungan di balik kisah sebuah judul yang ditulisnya.
Ketika kita mengeluh, maka beban kita akan semakin berat. Bukankan setiap hal kita sedang bersahabat dengan masalah sehingga kita bisa menyelesaikan dengan jawaban? Dulu ketika aku kecil, menjadi guru adalah sesuatu yang kuimpikan. Setiap kali bapak atau guruku bertanya, “Rusma, apa cita-citamu kelak ketika engkau dewasa?” Jawabku dengan tegas adalah guru. Sampai aku sangat ingat sekali ketika bapak bertanya saat aku mengikuti UMPTN tahun 97 ketika itu. Aku sangat yakin pilihanku adalah yang terbaik untuk hidupku. Kutulis sebait puisi untukmu anak-anakku. Aku ingin kau mengenal budi tak sekedar nama. Tapi budi saat ini benar-benar sedang kaulupakan. Ibu akan mengenalkannya untukmu sampai kapan pun.
(KUMPULAN CERPEN JEJAK KOPI KARYA MIA ISMED)
Tags : Cerpen
SMAN 1 KARANG BINTANG
KI HAJAR DEWANTARA
- " Ing ngarso sang Tulodo " ( Di depan memberi Contoh )
- " Ing Madyo Mangun Karso " ( Di tengah Memberi Bimbingan )
- " Tut Wuri Handayani " (Di belakang Memberi Dorongan )
- : SMAN 1 KARANG BINTANG
- : 13 SEPTEMBER
- : TANAH BUMBU - KALIMANTAN SELATAN
- : smanonekarangbintang@gmail.com
- : 0852-4770-6777
Posting Komentar