Sabtu, 13 Maret 2021

CERPEN~Finn | Analisis


Aku tidak pernah setakut ini sebelumnya. Maksudku, terlepas dari kenyataan bahwa aku selalu berbicara aku tidak takut pada hantu—mungkin lebih tepat ke aku tidak percaya hantu itu ada—rasa takut itu tetap bertahan hingga saat ini.
Entah aku yang terlalu paranoid atau imajinasiku meningkat berlebihan akhir-akhir ini, aku benar-benar merasa tidak nyaman ketika berada di rumah sendirian. Mungkin keduanya? Tapi hei, siapa yang tidak merasa waswas ketika setiap malam ada seseorang yang mengetuk bagian-bagian rumahmu. Atau benda-benda di dalam rumahmu berpindah tempat.
Aku mengalaminya sialan! Entah itu pintu, jendela, dinding, dan sebagainya. Suara-suara itu benar-benar membuatku tidak tenang. Bahkan beberapa hari yang lalu aku harus bolak-balik ke halaman belakang rumah hanya untuk mematikan keran air sialan itu! Tak peduli berapa kali pun aku menutup kerannya, keran itu seakan berputar membuka sendiri, dan itu terjadi tengah malam!
Terlebih karena baru-baru ini anggota keluargaku meninggal dunia—tepat dua bulan yang lalu. Baiklah kuakui bahwa kehilangan adikku membuatku gila akhir-akhir ini, bahkan mungkin itu adalah alasan utama aku menjadi begini terpuruk. 
Tapi malam ini sungguh keterlaluan. Bahkan mungkin yang paling parah dibandingkan malam-malam sebelumnya.
Aku tengah membersihkan sisa make up yang kukenakan hari ini ketika tiba-tiba air meluber dari wastafel dan hawa dingin memenuhi ruangan, rasanya ada lapisan es tipis di udara. Aku sontak menjauh dan bergidik melihat jari-jari pucat itu muncul di wastafel, dengan kuku yang sepenuhnya putih dan sebagian kulit mengelupas akibat suhu ekstrem. Perlahan tampaklah setengah wujudnya, seperti mainan Jack-in-the-box yang muncul keluar. 
"Kakak ... aku pulang ...."
"Aaaa!" Aku menjerit dan berbalik menggedor-gedor pintu yang sialnya malah tidak bisa dibuka. Berteriak histeris seperti orang kesetanan. Seluruh sel dalam tubuhku seakan meneriakkan ketakutan yang terlalu dahsyat untuk diabaikan.
Dan secepat datangnya, segala hal gila itu tiba-tiba lenyap dan semuanya kembali normal. Hawa dingin itu hilang, yang ada hanya tangisanku dan suara air yang masih meluber hingga lantai kamar mandi seperti banjir. 
Kuusap air mataku, pelan-pelan melangkahkan kaki mendekati wastafel. Hanya air, air yang mengalir dari keran lalu memenuhi bak wastafel. Segera kumatikan keran itu lalu melihat wajahku yang terpantul di cermin. Aku menyedihkan, terlebih dengan dengan tampilan kantung mata tebal dan wajah pucat.
Setelah kukeringkan wajahku dengan handuk, aku kembali ke ruang tengah dan kejutan lain ternyata telah menungguku. 
Kipas angin di sudut ruangan hidup dengan kecepatan paling tinggi, angin berputar ke seluruh penjuru ruangan, kertas-kertas itu bertebaran dan aku nyaris menjerit gila saking frustrasinya. Dengan emosi kucabut kabel listrik kipas angin lalu meraup sobekan kertas yang tercecer di lantai.
Dengan jengkel kuraup kertas-kertas itu lalu dibuang ke tempat sampah. Aku hendak menyumpah-nyumpah pada asal kertas ini tepat saat aku memungut satu kertas ... dan tulisan tangan kaku terbaca oleh mataku.
Aku harap kau mati!
Bukan hanya kertas itu. Satu kertas lainnya yang berada di sebelah kakiku juga bertuliskan huruf-huruf kaku.
Kuseret kau ke neraka!
Dan kertas yang lainnya ... dengan kalimat-kalimat yang setiap kali kubaca semakin menakutkan. Rasanya seperti membaca potongan-potongan kalimat berisi kutukan.
Aku memekik kaget hingga berjongkok ketika pintu depanku diketuk.
“Rossie! Apa kau di rumah?”
Aku mengerjap, suara yang aku kenal. Buru-buru aku berlari ke arah pintu depan lalu membuka pintuku yang dicat biru tua.
"Adam!" seruku. Rasa takut itu sirna ketika aku melihat Adam Conway, teman kuliahku. Dia nampak terkejut dengan satu alis terangkat, mungkin karena aku berseru padanya tadi. "Aku senang sekali kau datang!"
Adam menampilkan cengiran senangnya. "Well, senang mendengar itu. Aku datang di waktu yang tepat ya?"
Aku mengangguk mengiyakan lalu mengizinkan dia duduk di sofa ruang tamuku. Buru-buru kusingkirkan tumpukan buku yang jatuh dari rak ke sudut meja. Urgh, kusadari rumahku terlihat seperti kapal pecah sekarang.
"Ma-maaf, akan kubereskan—"
"Tidak perlu," kata Adam sembari tersenyum. Oh, mataku pasti mengelabuiku, biasanya Adam tidak terlihat semenawan itu sebelumnya, bahkan dengan senyum tulus sekali pun. "Ngomong-ngomong aku haus," katanya.
"Ah, kopi atau teh?" tawarku. Adam kembali tersenyum. "Oh, kopi kalau begitu?" tebakku.
Kali ini Adam terbahak hingga menepuk pahanya. "Ya, tentu, kopi akan sangat bagus untuk mencairkan suasana, dan aku butuh kafein sekarang."
"Oh ya? Apa kau lembur karena bermain game atau tugas kuliah?" tanyaku.
Adam mengedikkan bahu. "Hmm lebih ke persiapan untuk skripsi sih, rencananya aku akan membuat penelitian tentang skizofrenia."
"Wow, sepertinya menarik," komentarku. Adam adalah salah satu mahasiswa ilmu psikologi yang aku kenal. "Kau ingin cepat-cepat lulus ya? Kau kan masih punya satu semester lagi untuk mempersiapkan skripsi."
"Well, yang satu ini sangat menyenangkan dan aku menikmati pekerjaan ini. Jadi, yah ini hanya untuk kesenangan pribadi sih. Tapi mungkin nanti akan aku pakai untuk topik skripsi. Bisa aku dapatkan kopiku sekarang?" tanyanya sembari nyengir.
Mendengar itu aku segera melesat menuju dapur. 
Aku menuang satu setengah sendok gula, disusul kopi bubuk lalu air panas dari dalam termos airku. Alih-alih bau kopi mendidih yang muncul, aroma anyir darah menusuk hidungku. Dari sudut mataku kulihat sesuatu yang berwarna merah merayap di dinding dapur.
Tidak, jangan sekarang ... kumohon. Jangan saat aku punya tamu di rumah. Meski aku sering bercerita pada Adam tentang hal-hal aneh yang aku alami, tetap saja aku tidak ingin terlihat seperti orang tak waras di depannya.
Kuabaikan bayangan-bayangan itu lalu menyajikan secangkir kopi pada Adam.
"Apa ada yang salah, Rossie?" tanya Adam dengan dahi mengernyit.
Mungkin itu nalurinya sebagai mahasiswa psikologi. Well, maksudku dia selalu tertarik jika mendengar hal-hal seperti ini—gangguan kecemasan dan lain-lain—terutama semenjak aku berbicara banyak padanya mengenai pengalamanku.
Jadi begitulah aku mulai menumpahkan keluh kesahku padanya.
"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku ...," ujarku. "Aku nyaris tak bisa tidur selama dua hari ini. Aku ... kalut."
"Apa kau masih merasa bersalah dengan kematian adikmu, Rossie?" tanya Adam sembari memiringkan kepalanya. Dia sudah menanggalkan jaketnya dan setengah cangkirnya kini sudah kosong.
"Aku benar-benar tidak sengaja!" seruku. "Aku tidak sengaja mendorongnya!"
Aku terpuruk karena hal itu hingga saat ini. Kehilangan adikku seperti kehilangan setengah dari semangat hidupku. Memang benar sebelumnya aku membencinya, maksudku siapa yang tidak kecewa ketika ayahnya tiba-tiba pulang dengan seorang anak yang tidak kau kenal, lalu mengakui bahwa anak itu adalah anak haramnya.
Desember lalu aku pergi bersama adikku, sekadar menghabiskan waktu berjalan-jalan di sekeliling kota. Adikku, Damien Lewis lebih muda lima tahun dariku. Dia jenis anak pendiam di luar rumah tapi pembuat masalah di rumah, mungkin karena dia tahu aku—satu-satunya keluarga yang masih peduli padanya—diam-diam membencinya.
Sayangnya Damien membuatku sangat marah hari itu. Kami bertengkar tepat di tengah jembatan. Tahu-tahu saja tanganku mendorong Damien dan suara adikku menjerit memenuhi kepalaku. Aku ingat aku menangis dan melongokkan kepalaku ke arah sungai, airnya gelap, dingin dan tidak ramah.
Damien meninggal dunia. Hasil autopsi menunjukkan bahwa kepalanya terbentur badan jembatan sebelum dia jatuh ke air setengah beku. Tak ada saksi mata, hanya ada aku dan Damien, dan berkat itu ... aku tidak dituduh sebagai pembunuh.
Aku berbohong ketika mereka menanyaiku bagaimana Damien bisa jatuh ke sungai. Pada tante dan pamanku kukatakan bahwa Damien terpeleset, lalu mereka menyampaikan itu pada para polisi. Aku tak tersentuh jeruji besi tapi sekarang ... rasa bersalah ini membunuhku.
"Maaf, Adam. Aku membuang waktumu ya?" tanyaku dengan senyum kecut.
Adam menggeleng. "Tidak apa-apa. Aku suka mendengar keluh kesahmu, Rossie." Adam menatap buku-buku jarinya sesaat sebelum berbicara lagi. "Tapi karena sekarang sudah larut malam, sebaiknya aku pulang."
"Ah, ya tentu. Terima kasih sudah berkunjung."
Aku mengantar Adam ke pintu depan. Dia tersenyum sebelum berpamitan padaku.
"Baiklah, sampai jumpa besok," ujarnya.
Aku memperhatikan tubuh Adam mengecil seiring dengan langkahnya yang menjauhi rumahku. Saat dia berbelok di tikungan, barulah aku masuk ke dalam rumah dan meratapi penampakan rumahku yang berantakan.
Aku berniat untuk mengembalikan cangkir kopi yang sebelumnya dipakai Adam saat aku menyadari satu hal. Sebuah jaket kulit berwarna cokelat tua terongggok di sofaku.
Ah, ya ampun, dia meninggalkan jaketnya di sofa ruang tamu. Aku sudah meraup jaket itu dan hampir menekan nomor kontak Adam di ponselku, namun terhenti karena sebuah buku kecil jatuh dari saku jaket kulit itu. Dahiku otomatis mengerut. Kuurungkan niat untuk menelepon Adam dan memilih untuk membaca buku kecil dengan kertas kumal itu.
Halaman pertama berupa corat-coret yang tak terbaca hingga beberapa halaman berikutnya. Lalu aku menemukan profilku di sana.
Nama lengkapku, umur, pekerjaan, dan jenis trauma?
Dahiku berkerut-kerut ketika membaca tiap halaman kecil berisi beberapa kegiatan keseharianku. Gila, apa ini jurnal? Apa Adam stalker? Mengapa dia menguntitku?
Namun, catatan-catatan singkat berikutnya jauh lebih gila lagi.

Tanggal 23
Kuketuk pintu depannya tiga kali, dia bilang mendengar ketukan itu berlangsung selama dua jam.
Tanggal 24
Kunyalakan keran di taman belakang rumahnya sekali, dia bilang dia harus bolak-balik untuk mematikan keran itu.
Tanggal 25
Aku meletakkan sebuah boneka beruang di pintu depannya, dia bilang boneka itu berada di pintu kamarnya.
Tanggal 26
Aku hanya merobek-robek kertas kosong lalu menebarnya di lantai ruangan, ayolah itu hanya kertas kosong! 
Singkatnya, dari hasil analisis dan pengamatan ini kusimpulkan bahwa Rosa Lewis memiliki gangguan kesehatan mental. Diagnosis : skizofrenia.

Catatan terakhir baru saja ditulis, terkesan terburu-buru. Terlihat dari bagaimana tinta biru itu belum benar-benar kering dan mengkilap tertimpa cahaya lampu. Aku teringat soal topik skripsi Adam dan alasannya kurang tidur beberapa waktu lalu.
"Aku suka mendengar keluh kesahmu, Rossie." Adam mengatakan itu beberapa waktu lalu. Mungkin dalam jeda setelah dia berpikir seperti ini, "Karena akulah penyebabnya."
Entah aku yang gila atau Adam yang gila.

Tags :

SMAN 1 KARANG BINTANG

KI HAJAR DEWANTARA

  • " Ing ngarso sang Tulodo " ( Di depan memberi Contoh )
  • " Ing Madyo Mangun Karso " ( Di tengah Memberi Bimbingan )
  • " Tut Wuri Handayani " (Di belakang Memberi Dorongan )

  • : SMAN 1 KARANG BINTANG
  • : 13 SEPTEMBER
  • : TANAH BUMBU - KALIMANTAN SELATAN
  • : smanonekarangbintang@gmail.com
  • : 0852-4770-6777

Posting Komentar