CERPEN TANAH WARISAN | ANONIM
Lihatlah
wajah pucat Bapakku, tubuhnya kurus kering dimakan penyakit usia senjanya.
Ditambah beban batin yang ditanggungnya, membuat parah sakit yang dideritanya.
Ibuku wafat tujuh bulan yang lalu, Bapakku makin sakit-sakitan sejak saat itu.
Wajahnya lebih cepat tua dari biasanya. Bapak lebih sering menyendiri dan
membisu.
Tak
tega kumeninggalkan Bapak sendiri di kamar bercat putih dan beraroma khas rumah
sakit. Tapi bagaimana lagi, aku harus pergi kesekolah. Sebentar lagi akan
diadakan ujian nasiaonal, tak mungkin aku sering-sering meninggalkan jam pembelajaran.
Sedangkan kedua kakakku sibuk menngurus rumah dan suami mereka masing-masing.
“Din,
kamu anak sulung Bapak, jadilah panutan yang baik untuk adik-adikmu,” ucap
Bapak pada Mbak Dina, kakak tertuaku.
“Iya
Pak, Dina akan jadi kakak yang baik untuk Nia dan Rasti,” Mbak Dina menangis
sesegukan melihat Bapak yang semakin lemah.
“Lihat
adikmu Rasti! Jalan hidupnya masih panjang, ia memiliki cita-cita tinggi.
Gantikan bapak, dan buatlah cita-cita adikmu tetwujud! Bagilah rata apa yang
Bapak tinggalkan untuk kalian,” Bapak, tak pernah kumengira kau memikirkan masa
depanku dan materi untuk anak-anakmu diusia senjamu.
“Dina
janji Pak,”
Tersungging
senyum di bibir Bapak, menghiasi wajah keriputnya. Tetapi senyum itu memudar
seiring detakan jarum jam. Matanya tertutup perlahan, Bapakku terlelap
selamanya.
Terdengar sayup-sayup pembicaraan
Mbak Dina dengan lelaki yang terlihat asing di mataku. mereka membicarakan hal
yang serius.
“Saya
akan membeli tanah milik Mbak yang atas nama almarhum ayah Mbak, yang ada di
desa sebelah,” terdengar jelas perkataan lelaki itu di telingaku.
Air
mataku saja belum kering, seusai mengantarkan Bapak ke tempat peristirahatan
terakhirnya. Jasad Bapak saja baru dua jam di dalam pusara. Tega-teganya Mbak
Dina menjual tanah warisan Bapak, meskipun belum genap sehari sepeninggal
Bapak. Atau mungkin, Mbak Dina selalu berdoa, agar Bapak cepat-cepat mati, dan
harta warisannya dapat dijualnya semua.
“Mbak,
apa mbak tak berfikir, Bapak masih baru saja kita antar ke pusaranya. Mbak
malah sudah menjual warisan dari Bapak,” aku yang tak setuju dengan perilaku
Mbak Dina, mengajukan protes padanya.
“Tahu
apa kamu? SMA saja kamu belum lulus, sudah melajari Mbak berfikir. Lagi pula di
sini Mbak yang paling tua, jadi Mbak yang mengatur semuanya,” Mbak Dina malah
berbalik memarahiku. Aku memilih diam daripada berdebat dengan Mbak Dina.
Hari
kelulusanku sangatlah berbeda. Aku iri melihat mereka, mendapat pelukan hangat
dari ayah dan ibunya, setelah mendapat kabar kelulusan mereka. Tapi diriku,
ayah ibu sudah tiada, tak ada sanak saudara yang mendampingiku di hari indah
ini. Tapi kuyakin Bapak dan Ibu melihatku dan ada bersamaaku saat ini.
Sebenarnya tadi malam aku sudah meminta Mbak Dina untuk mendampingikku pada acara
kelulusanku. Tapi dirinya beralasan sibuk. Setahuku kesibukan Mbak Dina hanya
merumpi dengan Ibu-ibu di sekitar rumah,
topik pembicaraannyapun hanya memamerkan barang-barang mewah yang berhasil Dia beli dari hasil penjualan
tanah warisan Bapak.
“Mbak, Rasti mau kuliah,” kusampai kan keinginanku
pada Mbak Dina saat makan malam bersama di sebuah meja makan. Mbak Dina
tersedak makanan, sorot matanya berubah
tajam menatapku, seperti seekor kucing melihat tikus.
“Apa kamu tak pernah berfikir? Seberapa besar biaya
yang harus dikeluarkan jika kamu kuliah,” bukannya menyetujui niat baikku untuk
sekolah yang lebih tinggi, Mbak Dina malah memarahiku.
“Bukankah Mbak sudah berjanji pada Bapak, akan
mewujutkan cita-citaku?”
“Mbak hanya ingin menyenangkan hati Bapak saja,
sebelum Bapak meninggal. Daripada kamu kuliah menghabiskan banyak uang, lebih
baik kamu menikah saja,” sekarang malah aku yang tersedak makanan, karena
perkataan Mbak Dina.
Menikah? Masih belum terfikir di benakku untuk
menjalani mahligai rumah tangga. Umurku saja belum genap 18 tahun, lulus SMA
saja baru kemarin. Masih banyak mimpiku yang belum terwujudkan.
“Mbak juga telah menjual tanah warisan Bapak,
setidaknya Mbak bisa membiayai semester pertamaku,”
“Semua uangnya sudah Mbak belikan perhiasan. Jika
harus menjual perhiasan itu, perhiasan mana lagi yang bisa Mbak pamerkan pada
tetangga?” Ya Rabb, betapa tamaknya Mbakku pada harta duniawi.
Aku tak bisa membantah perkataan Mbak Dina. Aku
masih menumpang hidup pada Mbak Dina, jika aku membantahnya, bisa-bisa aku yang
diusir dari rumah. Kubiarkan cita-citaku pupus di tengah jalan. Padahal aku
ingin sekali kuliah dan menjadi seorang guru.
Suara panggilanNya terdengar sayup-sayup
membangkitkanku dari mati sementaraku. Kupandang sekelilingku, selimut masih
mengurungku, dapat kurasakan betapa dinginnya embun di luar sana. Tapi ku bergegas
mengambil wudhu, dan kutunaikan sholat subuh sebagai kewajiban pagiku.
Kumemohon pada-Nya agar diberi-Nya aku keindahan disepanjang hariku.
Awalnya aku berfikir Mbak Nia berbeda dengan Mbak
Dina, tapi ternyata sama saja. Sama-sama tamak akan harta dan sama halnya
dengan Mbak Dina, tukang pamer. Hal tersebut kusimpuklan setelah Mbak Nia
menjual tanah peninggalan Bapak, dan kala itu belum genap 40 hari Bapak
meninggal. Uang hasil penjualan tanah itu Ia gunakan untuk membeli mobil dan
dipamerkannya kepada tetangganya.
“Rasti, dua bulan lagi kau akan menikah,” bak petir
di siang bolong, perkataan Mbak Dina membuatku lumpuh dan terpaku di atas kursi
yang sedang kududuki, seakan tulang-belulangku tak merekat lagi di ragaku.
“Tidak Mbak, tidak. Umur Rasti saja baru akan
menginjak 18 tahun, Rasti masih terlalu dini untuk menikah,” ucapku susah
payah. Lidahku kelu sedari mendengar perkataan Mbak Dina.
“Mbak Dina saja dulu menikah saat umur Mbak masih 16
tahun. Lagi pula pernikahan ini sudah Mbak rencanalan dengan Ibu calon mempelai
pria,”
“Tapi Mbak, kenapa Mbak tak pernah bertanya apakah
aku setuju dengan pernikahan ini? Dan mengapa Mbak mau aku menikah secepat
ini?” kutatap tajam mata Mbak Dina, kutatap setajam tatapan elang.
“Apakah Kau tak pernah berfikr? Kau itu telah
menjadi beban dalam hidupku. Berapa banyak uang
yang harus kukeluarkan untuk membiayai tiap harimu? Bayangkan saja, jika
aku mengeluarkan uang RP.50.000,00 setiap harinya, berapa banyak uang yang aku
keluarkan dalam sebulan? RP.1.500.000,00 itu baru satu bulan, bagaimana dalam
satu tahun?” begitu perhitungannya Dia dengan adiknya sendiri.
Aku tertunduk tanpa kata. Apakah benar aku beban
dalam hidupnya, atau mungkin Mbak Dina yang terlalu rakus dengan uang. Ah… dari
pada aku hidup menumpang dan dianggap sebagai beban, kuikuti sajalah kata Mbak
Dina, biar senang hatinya.
“Baiklah Mbak, akan kuturuti kata Mbak,” jawabku
pasrah.
***
Pernikahanku benar terjadi dua bulan setelah
perbincanganku dengan Mbak Dina saat itu. Mas Adit, orang yang saat ini duduk
menemaniku di kursi pelaminan. Kami seperti orang yang yang tak saling kenal, tak ada kata yang kami lontarkan
sejak pagi tadi. Sesekali kucuri pandang
padanya, tak ada guratan senyum di bibirnya. Menandakan diapun tak
setuju dengan pernikahan ini.
Mas Adit adalah mahasiswa S1 di salah satu universitas
swasta di Kalimantan Selatan. Sekarang sudah memasuki semester kelimanya.
Setelah menikah Dia harus kembali pada aktivitas kuliahnya dan tingggal jauh
dari kampungku. Biasanya Mas Adit pulang satu hingga dua bulan sekali kerumah.
Di rumah pemberian mertuaku ini aku tinggal sendiri
saat Mas Adit belum pulang. Saat Mas Adit pulang pun, kami seperti orang asing.
Kami berbicara secukupnya, tak banyak interaksi dan komunikasi. Bukan tanpa
alasan, dari awal memang kami tak saling mencintai.
***
Kudengar
dari bisikan tetangga, Mbak Dini akan menjual tanah warisan Bapak lagi, padahal
itu satu-satunya peninggalan Bapak yang masih ada. Aku mendatangi rumah Mbak
Dina dan melarang Mbak Dina menjual tanah warisan itu. Bukannya disambut dengan
baik, aku malah diusir seperti Ia mengusir seorang gelandangan. Cairan
beningpun memberontak dari pelupuk. Apakah begitu hina kehadiranku di mata Mbak
Dina?
“Sudalah, urus dirimu sendiri, akan kujual tanah
warisan Bapak ini. Aku akan memembeli sebuah
mobil, aku malu dengan tetangga, kemana-mana selalu mengendarai motor
butut, saat hujanpun aku basah kuyup dan kedinginan,” tutur kata Mbak Dina semakin
menunjukkan dirinya adalah orang yang tamak dan tukang pamer.
Aku
pulang dengan keadaan air mata telah membasahi pipi kanan dan kiriku. Hatiku
menyimpan sejuta luka akibat perlakuan Mbak Dina padaku. Pantaskah jika seorang
adik membenci kakanya?
“Mengapa
Kau menangis?” suara Mas Adit menyadarkanku dari lamunan.
“Tak
apa, hanya saja tadi aku ke rumah Mbak Dina, dan kudapatkan perilaku kurang
menyenangkan darinya,” kujelaskan
permasalahannya Mas Adit. Sebenarnya kata yang tepat bukan kurang menyenangkan,
tapi tidak menyenangkan.
“Aku tak mau mencampuri urusanmu
dengan Mbak Dina,” Dia seakan acuh dengan segala permasalahanku.
“Sebentar lagi aku akan wisuda, setelah itu aku akan
pergi ke Malang untuk bekerja. Kau akan ikut denganku ke Malang atau tetap
tinggal di sini. Jika kau tetap tinggal di sini aku tak bisa pulang sesering
biasanya untuk memastikan kau baik-baik saja di rumah,” baru kuketahui,
ternyata selama ini Mas Adit pulang untuk memastikan apakah aku baik-baik saja
di rumah.
“Aku akan ikut denganmu,” kuputuskan untuk ikut
dengan Mas Adit ke pualau Jawa nanti, dan meninggalkan dukaku disini.
Hidup di luar kota membutuhkan adaptasi tinggi agar
aku terbiasa dengan suasana disini yang berbeda dengan kampungku. Hubunganku
dengan Mas Adit tetap seperti dulu, tetap dingin. Di dekat tempat tinggal yang
baru, Mas Adit membuka usaha, dengan membuka kedai yang menjual makanan
tradisional dari beberapa daerah di Indonesia.
“Kita akan kembali ke Kalimantan,” ujar Mas Adit
seusai menyantap hidangan makan malamnya.
“Mengapa? Bukankah Engkau sudah membuka usaha di
sini, dan usaha itupun berjalan lancar? Lalu mengapa kita harus kembali ke
Kalimantan?” aku bertanya padanya.
“Ibu sakit, tak ada yang mengurusnya di sana, Ayah
harus pergi ke Kalimantan Tengah untuk menjalankan bisnisnya. Jadi kita harus
kembali ke Kalimantan,”
Sebenarnya tak setuju aku jika harus kembali ke
Kalimantan, kampung halamanku dulu. Baru saja dapat kuhilangkan luka dari Mbak
Dina setelah kumelupakannya. Jika aku harus kembali, otomatis aku akan
mengingat kembali kenangan penuh luka itu, dan luka itu kembali lagi di hatiku.
Setelah lima tahun, akhirnya kuberpijak kembali di
tanah kelahiranku. Kuputuskan pergi mengunjungi pusara Bapak dan Ibu. Terlihat
tak terawat, rumput liar memenuhi setiap sudut makam. Terliha sekali Mbak Dina
dan Mbak Nia tak perduli dengan kondisi ini.
Aku berkeliling mengitari kampung yang cukup lama
kutinggalkan, banyak bangunan yang sudah bertambah. Aku melintas di depan rumah
Mbak Dina, terlihat tak terawat, daun-daun kering berserakan di sana-sini,
rumput-rumput liar meninggi. Kemana Mbak Dina? Tak akan ku dapatkan jawabannya
jika ku tak bertanya pada warga.
“Bu, Mbak Dinanya pindah ya?” kumencoba bertanya
pada seorang ibu di sekitar situ.
“Adik ini, adiknya Dina ya? Begini Dik, Dina tak
pernah berada di rumah, Dia selalu berkeliaran keliling kampung, jiwanya
sekarang sedang terganggu,”
Pernyataan Ibu itu berhasil membuat lidahku kelu,
mulutku gagu, tak dapat ku ucapkan sepatah katapun. Tulang-belulangku seakan
lolos dari ragaku, tak lagi menopang diriku.
Dari penjelasannya, jiwa Mbak Dina terguncang,
setelah Dirinya tertipu sebuah agen penggandaan harta. Mbak Dina berniat
menggandakan seluruh harta bendanya, bukannya terlipat ganda, hartanya malah
hangus tak tersisa. Suami Mbak Dina meninggalkannya dan menikah lagi. Selama
ini Mbak Dina makan atas kebaikan hati para warga. Kasihan Mbakku termakan
godaan setan yang membisikan ketamakan di hatinya.
Kutatap tubuh yang sedang mengorek-ngorek tong
sampah di ujung jalan sana. Pakaiannya kumal, badannya lisuh tak terawat, tak ada
guratan senyum di bibirnya, tatapannya aneh. Kumelangkah mendekati raganya, tak
dapat lagi kutahan air mata yang membendung.
“Mbak Dina,” kupanggil namanya. Tak ada kata yang
terucap dari bibirnya, hanya tatapan aneh yang Ia pancarkan.
Kuajak Mbak Dina pulang, kubersihkan badannya,
kukenakan pakaian yang layak untuknya, kuberikan makan, kurawat Dia. Aku
meminta izin pada Mas Adit untuk merawat Mbak Dina di rumah. Mas Adit
mengizinkannya, tatapan aneh dipancarkannya, melihat adik yang dulu
disia-sialan malah perduli pada Mbak Dina.
Aku berusaha sebaik-baiknya dalam merawat Mbak Dina,
walau awalnya terasa sulit. Seminggu pertama Mbak Dina tak mau berbicara
padaku, jika Ia meminta sesuatu, Dirinya hanya menunjuk ke sembarang arah, jika
kusalah mengambil barang Dia akan membantingnya, jika itu terbuat dati kaca
ataupun keramik otomatis akan pecah.
“Aku mau makan,” kalimat itu pertama kali kudengar
setelah delapan hari aku merawat Mbak
Dina. Aku amat sangat bersukur Mbak Dina mau berbicara padaku, walau hanya saat
Dirinya mau makan atau minum.
Mas Adit kembali membuka kedai makanan yang menjual
makanan tradisional, tapi kini di dekat kampung kami. Sama halnya dengan kedai
sebelumnya, penjualannya laris. Banyak pelanggan yang memuji cita rasa makanan
di kedai Mas Adit.
Terdengar
ketukan pintu dari luar. Aku bergegas menuju ssebuah pintu yang terbuat dari
kayu jati itu. Sosok yang pertama kali kudapati ialah Mas Malik, suami Mbak
Nia. Aku tertegun melihat sosok berikutnya, duduk terdiam di kursi roda,
mulutnya terlihat miring ke kenan, tangannya kaku sulit digerakkan, begitu pula
kakinya.
Air mataku tak henti-hentinya mengalir membanjiri
pipiku. Mbak Nia, orang yang duduk di kursi beroda itu. Mbak Nia terkena stroke
setelah jatuh dari tangga rumahnya. Harta bendanya habis untuk membiayai
pengobatannya. Suami Mbak Nia mengantarkannya kemari agar aku merawatnya, Mas
Malik akan segera menceraikan Mbak Nia, katanya. Ya Rabb, cobaan apa lagi ini.
Kurawat kedua kakakku sebaik mungkin. Kuhilangkan benci
pada mereka dahulu, biarlah benci itu kuubah menjadi kasih sayang. Melihat senyum dari Mbak Dina
dan Mbak Nia itu sudah menjadi hal terindah untukku saat ini.
Udara malam ini terasa begitu panas, aku dan Mas
Adit mencari udara yang lebih segar, sembari duduk di kursi yang terletak di
halaman belakang rumah. Mbak Dina sudah tidur sejak tadi, dan Mbak Nia sedang
beristirahat di kamarnya, mungkin kini sudah tidur. Dan kini, tinggal kami
berdua yang masih terjaga. Keheningan menyelimuti malam kami.
“Rasti, aku bahagia Allah mengirimkan wanita
sepertimu untuk menjadi isrtiku,” Mas Adit berkata, memecahkan keheningan di
antara kami.
“Kau baik, penyayang, pemaaf, awalnya aku berfikir
kau akan menghancurkan kehidupanku karena jujur dari awal aku tak mencintaimu.
Tapi kini aku sadar, kaulah bidadari yang akan membawaku ke surgaNya. Aku
mencintaimu Rasti,” lanjutnya.
Direngkuhnya ragaku, ini pertama kalinya kudapat
pekukan hangat dari Mas Adit. Selama ini kami saling bersikap dingin satu sama
lain, dan kini kehangatan mulai datang ke mahligai rumah tangga kami.
Ya Rabb, jika memang Mas Adit adalah orang yang rela
mengorbankan sebuah tulang rusuknya untukku, biarkan kami terus bersama hingga
kelak hari tua, dan pada akhirnya kami akan tutup usia. Dan persatukan kembali,
kami dalam indahnya JannahMu.
Tags : Cerpen
SMAN 1 KARANG BINTANG
KI HAJAR DEWANTARA
- " Ing ngarso sang Tulodo " ( Di depan memberi Contoh )
- " Ing Madyo Mangun Karso " ( Di tengah Memberi Bimbingan )
- " Tut Wuri Handayani " (Di belakang Memberi Dorongan )
- : SMAN 1 KARANG BINTANG
- : 13 SEPTEMBER
- : TANAH BUMBU - KALIMANTAN SELATAN
- : smanonekarangbintang@gmail.com
- : 0852-4770-6777
Posting Komentar