Sabtu, 20 Maret 2021

CERPEN TANAH WARISAN | ANONIM

 



            Lihatlah wajah pucat Bapakku, tubuhnya kurus kering dimakan penyakit usia senjanya. Ditambah beban batin yang ditanggungnya, membuat parah sakit yang dideritanya. Ibuku wafat tujuh bulan yang lalu, Bapakku makin sakit-sakitan sejak saat itu. Wajahnya lebih cepat tua dari biasanya. Bapak lebih sering menyendiri dan membisu.

            Tak tega kumeninggalkan Bapak sendiri di kamar bercat putih dan beraroma khas rumah sakit. Tapi bagaimana lagi, aku harus pergi kesekolah. Sebentar lagi akan diadakan ujian nasiaonal, tak mungkin aku sering-sering meninggalkan jam pembelajaran. Sedangkan kedua kakakku sibuk menngurus rumah dan suami mereka masing-masing.

            “Din, kamu anak sulung Bapak, jadilah panutan yang baik untuk adik-adikmu,” ucap Bapak pada Mbak Dina, kakak tertuaku.

            “Iya Pak, Dina akan jadi kakak yang baik untuk Nia dan Rasti,” Mbak Dina menangis sesegukan melihat Bapak yang semakin lemah.

            “Lihat adikmu Rasti! Jalan hidupnya masih panjang, ia memiliki cita-cita tinggi. Gantikan bapak, dan buatlah cita-cita adikmu tetwujud! Bagilah rata apa yang Bapak tinggalkan untuk kalian,” Bapak, tak pernah kumengira kau memikirkan masa depanku dan materi untuk anak-anakmu diusia senjamu.

            “Dina janji Pak,”

            Tersungging senyum di bibir Bapak, menghiasi wajah keriputnya. Tetapi senyum itu memudar seiring detakan jarum jam. Matanya tertutup perlahan, Bapakku terlelap selamanya.

            Terdengar sayup-sayup pembicaraan Mbak Dina dengan lelaki yang terlihat asing di mataku. mereka membicarakan hal yang serius.

            “Saya akan membeli tanah milik Mbak yang atas nama almarhum ayah Mbak, yang ada di desa sebelah,” terdengar jelas perkataan lelaki itu di telingaku.

            Air mataku saja belum kering, seusai mengantarkan Bapak ke tempat peristirahatan terakhirnya. Jasad Bapak saja baru dua jam di dalam pusara. Tega-teganya Mbak Dina menjual tanah warisan Bapak, meskipun belum genap sehari sepeninggal Bapak. Atau mungkin, Mbak Dina selalu berdoa, agar Bapak cepat-cepat mati, dan harta warisannya dapat dijualnya semua.

            “Mbak, apa mbak tak berfikir, Bapak masih baru saja kita antar ke pusaranya. Mbak malah sudah menjual warisan dari Bapak,” aku yang tak setuju dengan perilaku Mbak Dina, mengajukan protes padanya.

            “Tahu apa kamu? SMA saja kamu belum lulus, sudah melajari Mbak berfikir. Lagi pula di sini Mbak yang paling tua, jadi Mbak yang mengatur semuanya,” Mbak Dina malah berbalik memarahiku. Aku memilih diam daripada berdebat dengan Mbak Dina.

            Hari kelulusanku sangatlah berbeda. Aku iri melihat mereka, mendapat pelukan hangat dari ayah dan ibunya, setelah mendapat kabar kelulusan mereka. Tapi diriku, ayah ibu sudah tiada, tak ada sanak saudara yang mendampingiku di hari indah ini. Tapi kuyakin Bapak dan Ibu melihatku dan ada bersamaaku saat ini.

Sebenarnya tadi malam  aku sudah meminta Mbak  Dina untuk mendampingikku pada acara kelulusanku. Tapi dirinya beralasan sibuk. Setahuku kesibukan Mbak Dina hanya merumpi dengan  Ibu-ibu di sekitar rumah, topik pembicaraannyapun hanya memamerkan barang-barang mewah  yang berhasil Dia beli dari hasil penjualan tanah warisan Bapak.

“Mbak, Rasti mau kuliah,” kusampai kan keinginanku pada Mbak Dina saat makan malam bersama di sebuah meja makan. Mbak Dina tersedak  makanan, sorot matanya berubah tajam menatapku, seperti seekor kucing melihat tikus.

“Apa kamu tak pernah berfikir? Seberapa besar biaya yang harus dikeluarkan jika kamu kuliah,” bukannya menyetujui niat baikku untuk sekolah yang lebih tinggi, Mbak Dina malah memarahiku.

“Bukankah Mbak sudah berjanji pada Bapak, akan mewujutkan cita-citaku?”

“Mbak hanya ingin menyenangkan hati Bapak saja, sebelum Bapak meninggal. Daripada kamu kuliah menghabiskan banyak uang, lebih baik kamu menikah saja,” sekarang malah aku yang tersedak makanan, karena perkataan Mbak Dina.

Menikah? Masih belum terfikir di benakku untuk menjalani mahligai rumah tangga. Umurku saja belum genap 18 tahun, lulus SMA saja baru kemarin. Masih banyak mimpiku yang belum terwujudkan.

“Mbak juga telah menjual tanah warisan Bapak, setidaknya Mbak bisa membiayai semester pertamaku,”

“Semua uangnya sudah Mbak belikan perhiasan. Jika harus menjual perhiasan itu, perhiasan mana lagi yang bisa Mbak pamerkan pada tetangga?” Ya Rabb, betapa tamaknya Mbakku pada harta duniawi.

Aku tak bisa membantah perkataan Mbak Dina. Aku masih menumpang hidup pada Mbak Dina, jika aku membantahnya, bisa-bisa aku yang diusir dari rumah. Kubiarkan cita-citaku pupus di tengah jalan. Padahal aku ingin sekali kuliah dan menjadi seorang guru.

Suara panggilanNya terdengar sayup-sayup membangkitkanku dari mati sementaraku. Kupandang sekelilingku, selimut masih mengurungku, dapat kurasakan betapa dinginnya embun di luar sana. Tapi ku bergegas mengambil wudhu, dan kutunaikan sholat subuh sebagai kewajiban pagiku. Kumemohon pada-Nya agar diberi-Nya aku keindahan disepanjang hariku.

Awalnya aku berfikir Mbak Nia berbeda dengan Mbak Dina, tapi ternyata sama saja. Sama-sama tamak akan harta dan sama halnya dengan Mbak Dina, tukang pamer. Hal tersebut kusimpuklan setelah Mbak Nia menjual tanah peninggalan Bapak, dan kala itu belum genap 40 hari Bapak meninggal. Uang hasil penjualan tanah itu Ia gunakan untuk membeli mobil dan dipamerkannya kepada tetangganya.

“Rasti, dua bulan lagi kau akan menikah,” bak petir di siang bolong, perkataan Mbak Dina membuatku lumpuh dan terpaku di atas kursi yang sedang kududuki, seakan tulang-belulangku tak merekat lagi di ragaku.

“Tidak Mbak, tidak. Umur Rasti saja baru akan menginjak 18 tahun, Rasti masih terlalu dini untuk menikah,” ucapku susah payah. Lidahku kelu sedari mendengar perkataan Mbak Dina.

“Mbak Dina saja dulu menikah saat umur Mbak masih 16 tahun. Lagi pula pernikahan ini sudah Mbak rencanalan dengan Ibu calon mempelai pria,”

“Tapi Mbak, kenapa Mbak tak pernah bertanya apakah aku setuju dengan pernikahan ini? Dan mengapa Mbak mau aku menikah secepat ini?” kutatap tajam mata Mbak Dina, kutatap setajam tatapan elang.

“Apakah Kau tak pernah berfikr? Kau itu telah menjadi beban dalam hidupku. Berapa banyak uang  yang harus kukeluarkan untuk membiayai tiap harimu? Bayangkan saja, jika aku mengeluarkan uang RP.50.000,00 setiap harinya, berapa banyak uang yang aku keluarkan dalam sebulan? RP.1.500.000,00 itu baru satu bulan, bagaimana dalam satu tahun?” begitu perhitungannya Dia dengan adiknya sendiri.

Aku tertunduk tanpa kata. Apakah benar aku beban dalam hidupnya, atau mungkin Mbak Dina yang terlalu rakus dengan uang. Ah… dari pada aku hidup menumpang dan dianggap sebagai beban, kuikuti sajalah kata Mbak Dina, biar senang hatinya.

“Baiklah Mbak, akan kuturuti kata Mbak,” jawabku pasrah.

***

Pernikahanku benar terjadi dua bulan setelah perbincanganku dengan Mbak Dina saat itu. Mas Adit, orang yang saat ini duduk menemaniku di kursi pelaminan. Kami seperti orang yang yang  tak saling kenal, tak ada kata yang kami lontarkan sejak pagi tadi. Sesekali kucuri pandang  padanya, tak ada guratan senyum di bibirnya. Menandakan diapun tak setuju dengan pernikahan ini.

Mas Adit adalah mahasiswa S1 di salah satu universitas swasta di Kalimantan Selatan. Sekarang sudah memasuki semester kelimanya. Setelah menikah Dia harus kembali pada aktivitas kuliahnya dan tingggal jauh dari kampungku. Biasanya Mas Adit pulang satu hingga dua bulan sekali kerumah.

Di rumah pemberian mertuaku ini aku tinggal sendiri saat Mas Adit belum pulang. Saat Mas Adit pulang pun, kami seperti orang asing. Kami berbicara secukupnya, tak banyak interaksi dan komunikasi. Bukan tanpa alasan, dari awal memang kami tak saling mencintai.

***

            Kudengar dari bisikan tetangga, Mbak Dini akan menjual tanah warisan Bapak lagi, padahal itu satu-satunya peninggalan Bapak yang masih ada. Aku mendatangi rumah Mbak Dina dan melarang Mbak Dina menjual tanah warisan itu. Bukannya disambut dengan baik, aku malah diusir seperti Ia mengusir seorang gelandangan. Cairan beningpun memberontak dari pelupuk. Apakah begitu hina kehadiranku di mata Mbak Dina?

“Sudalah, urus dirimu sendiri, akan kujual tanah warisan Bapak ini. Aku akan memembeli sebuah  mobil, aku malu dengan tetangga, kemana-mana selalu mengendarai motor butut, saat hujanpun aku basah kuyup dan kedinginan,” tutur kata Mbak Dina semakin menunjukkan dirinya adalah orang yang tamak dan tukang pamer.

            Aku pulang dengan keadaan air mata telah membasahi pipi kanan dan kiriku. Hatiku menyimpan sejuta luka akibat perlakuan Mbak Dina padaku. Pantaskah jika seorang adik membenci kakanya?

            “Mengapa Kau menangis?” suara Mas Adit menyadarkanku dari  lamunan.

            “Tak apa, hanya saja tadi aku ke rumah Mbak Dina, dan kudapatkan perilaku kurang menyenangkan  darinya,” kujelaskan permasalahannya Mas Adit. Sebenarnya kata yang tepat bukan kurang menyenangkan, tapi tidak menyenangkan.

            “Aku tak mau mencampuri urusanmu dengan Mbak Dina,” Dia seakan acuh dengan segala permasalahanku.

“Sebentar lagi aku akan wisuda, setelah itu aku akan pergi ke Malang untuk bekerja. Kau akan ikut denganku ke Malang atau tetap tinggal di sini. Jika kau tetap tinggal di sini aku tak bisa pulang sesering biasanya untuk memastikan kau baik-baik saja di rumah,” baru kuketahui, ternyata selama ini Mas Adit pulang untuk memastikan apakah aku baik-baik saja di rumah.

“Aku akan ikut denganmu,” kuputuskan untuk ikut dengan Mas Adit ke pualau Jawa nanti, dan meninggalkan dukaku disini.

Hidup di luar kota membutuhkan adaptasi tinggi agar aku terbiasa dengan suasana disini yang berbeda dengan kampungku. Hubunganku dengan Mas Adit tetap seperti dulu, tetap dingin. Di dekat tempat tinggal yang baru, Mas Adit membuka usaha, dengan membuka kedai yang menjual makanan tradisional dari beberapa daerah di Indonesia.

“Kita akan kembali ke Kalimantan,” ujar Mas Adit seusai menyantap hidangan makan malamnya.

“Mengapa? Bukankah Engkau sudah membuka usaha di sini, dan usaha itupun berjalan lancar? Lalu mengapa kita harus kembali ke Kalimantan?” aku bertanya padanya.

“Ibu sakit, tak ada yang mengurusnya di sana, Ayah harus pergi ke Kalimantan Tengah untuk menjalankan bisnisnya. Jadi kita harus kembali ke Kalimantan,”

Sebenarnya tak setuju aku jika harus kembali ke Kalimantan, kampung halamanku dulu. Baru saja dapat kuhilangkan luka dari Mbak Dina setelah kumelupakannya. Jika aku harus kembali, otomatis aku akan mengingat kembali kenangan penuh luka itu, dan luka itu kembali lagi di hatiku.

Setelah lima tahun, akhirnya kuberpijak kembali di tanah kelahiranku. Kuputuskan pergi mengunjungi pusara Bapak dan Ibu. Terlihat tak terawat, rumput liar memenuhi setiap sudut makam. Terliha sekali Mbak Dina dan Mbak Nia tak perduli dengan kondisi ini.

Aku berkeliling mengitari kampung yang cukup lama kutinggalkan, banyak bangunan yang sudah bertambah. Aku melintas di depan rumah Mbak Dina, terlihat tak terawat, daun-daun kering berserakan di sana-sini, rumput-rumput liar meninggi. Kemana Mbak Dina? Tak akan ku dapatkan jawabannya jika ku tak bertanya pada warga.

“Bu, Mbak Dinanya pindah ya?” kumencoba bertanya pada seorang ibu di sekitar situ.

“Adik ini, adiknya Dina ya? Begini Dik, Dina tak pernah berada di rumah, Dia selalu berkeliaran keliling kampung, jiwanya sekarang sedang terganggu,”

Pernyataan Ibu itu berhasil membuat lidahku kelu, mulutku gagu, tak dapat ku ucapkan sepatah katapun. Tulang-belulangku seakan lolos dari ragaku, tak lagi menopang diriku.

Dari penjelasannya, jiwa Mbak Dina terguncang, setelah Dirinya tertipu sebuah agen penggandaan harta. Mbak Dina berniat menggandakan seluruh harta bendanya, bukannya terlipat ganda, hartanya malah hangus tak tersisa. Suami Mbak Dina meninggalkannya dan menikah lagi. Selama ini Mbak Dina makan atas kebaikan hati para warga. Kasihan Mbakku termakan godaan setan yang membisikan ketamakan di hatinya.

Kutatap tubuh yang sedang mengorek-ngorek tong sampah di ujung jalan sana. Pakaiannya  kumal, badannya lisuh tak terawat, tak ada guratan senyum di bibirnya, tatapannya aneh. Kumelangkah mendekati raganya, tak dapat lagi kutahan air mata yang membendung.

“Mbak Dina,” kupanggil namanya. Tak ada kata yang terucap dari bibirnya, hanya tatapan aneh yang Ia pancarkan.

Kuajak Mbak Dina pulang, kubersihkan badannya, kukenakan pakaian yang layak untuknya, kuberikan makan, kurawat Dia. Aku meminta izin pada Mas Adit untuk merawat Mbak Dina di rumah. Mas Adit mengizinkannya, tatapan aneh dipancarkannya, melihat adik yang dulu disia-sialan malah perduli pada Mbak Dina.

Aku berusaha sebaik-baiknya dalam merawat Mbak Dina, walau awalnya terasa sulit. Seminggu pertama Mbak Dina tak mau berbicara padaku, jika Ia meminta sesuatu, Dirinya hanya menunjuk ke sembarang arah, jika kusalah mengambil barang Dia akan membantingnya, jika itu terbuat dati kaca ataupun keramik otomatis akan pecah.

“Aku mau makan,” kalimat itu pertama kali kudengar setelah delapan hari aku  merawat Mbak Dina. Aku amat sangat bersukur Mbak Dina mau berbicara padaku, walau hanya saat Dirinya mau makan atau minum.

Mas Adit kembali membuka kedai makanan yang menjual makanan tradisional, tapi kini di dekat kampung kami. Sama halnya dengan kedai sebelumnya, penjualannya laris. Banyak pelanggan yang memuji cita rasa makanan di kedai Mas Adit.

 Terdengar ketukan pintu dari luar. Aku bergegas menuju ssebuah pintu yang terbuat dari kayu jati itu. Sosok yang pertama kali kudapati ialah Mas Malik, suami Mbak Nia. Aku tertegun melihat sosok berikutnya, duduk terdiam di kursi roda, mulutnya terlihat miring ke kenan, tangannya kaku sulit digerakkan, begitu pula kakinya.

Air mataku tak henti-hentinya mengalir membanjiri pipiku. Mbak Nia, orang yang duduk di kursi beroda itu. Mbak Nia terkena stroke setelah jatuh dari tangga rumahnya. Harta bendanya habis untuk membiayai pengobatannya. Suami Mbak Nia mengantarkannya kemari agar aku merawatnya, Mas Malik akan segera menceraikan Mbak Nia, katanya. Ya Rabb, cobaan apa lagi ini.

Kurawat kedua kakakku sebaik mungkin. Kuhilangkan benci pada mereka dahulu, biarlah benci itu kuubah menjadi  kasih sayang. Melihat senyum dari Mbak Dina dan Mbak Nia itu sudah menjadi hal terindah untukku saat ini.

Udara malam ini terasa begitu panas, aku dan Mas Adit mencari udara yang lebih segar, sembari duduk di kursi yang terletak di halaman belakang rumah. Mbak Dina sudah tidur sejak tadi, dan Mbak Nia sedang beristirahat di kamarnya, mungkin kini sudah tidur. Dan kini, tinggal kami berdua yang masih terjaga. Keheningan menyelimuti malam kami.

“Rasti, aku bahagia Allah mengirimkan wanita sepertimu untuk menjadi isrtiku,” Mas Adit berkata, memecahkan keheningan di antara kami.

“Kau baik, penyayang, pemaaf, awalnya aku berfikir kau akan menghancurkan kehidupanku karena jujur dari awal aku tak mencintaimu. Tapi kini aku sadar, kaulah bidadari yang akan membawaku ke surgaNya. Aku mencintaimu Rasti,” lanjutnya.

Direngkuhnya ragaku, ini pertama kalinya kudapat pekukan hangat dari Mas Adit. Selama ini kami saling bersikap dingin satu sama lain, dan kini kehangatan mulai datang ke mahligai rumah tangga kami.

Ya Rabb, jika memang Mas Adit adalah orang yang rela mengorbankan sebuah tulang rusuknya untukku, biarkan kami terus bersama hingga kelak hari tua, dan pada akhirnya kami akan tutup usia. Dan persatukan kembali, kami dalam indahnya JannahMu.

Tags :

SMAN 1 KARANG BINTANG

KI HAJAR DEWANTARA

  • " Ing ngarso sang Tulodo " ( Di depan memberi Contoh )
  • " Ing Madyo Mangun Karso " ( Di tengah Memberi Bimbingan )
  • " Tut Wuri Handayani " (Di belakang Memberi Dorongan )

  • : SMAN 1 KARANG BINTANG
  • : 13 SEPTEMBER
  • : TANAH BUMBU - KALIMANTAN SELATAN
  • : smanonekarangbintang@gmail.com
  • : 0852-4770-6777

Posting Komentar