CERPEN : KAU PULANG TINGGAL NAMA | NAJUNDA DWI CAHYANI
Jam
dinding menunjukkan pukul 22:00 Wita, hujan lebat ditambah dengan angin
mengguyur pesisir pantai pagatan. Disitu hatiku merasa gundah gulana karena
Ayahku pergi melaut sejak dua hari yang lalu, Ayahku seorang nelayan, biasanya ayahku
akan pulang setelah satu minggu dilautan lepas, dan entah kenapa sebelum ayahku
pergi melaut aku punya banyak alasan untuk menahan Ayahku pergi, tapi disisi
lain aku berpikir bahwa Ayahku harus bekerja memenuhi kebutuhanku dan dua adikku.
Aku juga seorang piatu, ibuku meninggal empat tahun yang lalu saat usiaku
menginjak 13 tahun. Ibuku menderita sakit keras tapi apa daya keluarga kami
serba kekurangan, untuk makanpun susah apalagi harus membawa ibu kerumah sakit.
Tak menjamin ayahku dapat membayar pengobatan ibuku, itulah alasannya kenapa ibuku
hanya dirawat di rumah dengan alat medis tradisional.
Hujan
tadi malam memporak porandakan pesisir pantai pagatan, sebilah kayu kayu besar
hanyut dipermainkan oleh gelombang. Pohon pohon kelapa menunduk terkena angin
yg terus berhembus tanpa henti, tak enyah hatiku semakin membabi buta karena
keadaan yang kulihat sekarang. Ayahku belum juga pulang, tapi hati ini selalu
yakin bahwa Ayahku akan baik baik saja di sana. Terombang ambing seperti
serpihan bagang, berwarna merah menyala mendarat tepat dibibir pantai saat ini
aku berpijak, aku seperti mengenali serpihan bagang ini tapi aku berpikir
positif bahwa ini serpihan bagang warga lain yang sudah rusak atau tidak
terpakai hanyut karena hujan lebat tadi malam.
"Aisyah ayo kita berangkat
sekolah, sudah jam berapa ini." Teriak Kania teman
satu SMA Aisyah.
Kania adalah teman yang selalu membantuku
dalam keadaan apapun. Meskipun Kania adalah anak dari saudagar bagang di desa
ini dia tak pernah sama sekali memilih-milih teman. Aku salut padanya karena
sikapnya yang rendah hati tak menunjukan sama sekali bahwa dia seorang anak
dari keluarga terpandang.
"Oh iya Kania, ayo kita
berangkat," jawab Aisyah sembari melambaikan tangan
kanannya.
Diperjalanan
menuju sekolah, tatapanku seakan kosong entah kenapa hati ini terus saja
bergejolak. Ada yang terjadi dengan ayahku di sana, tapi semua pikiran itu
keenyahkan dengan pikiran yakinku bahwa ayahku akan baik baik saja.
"Ayahmu belum pulang juga
Aisyah?," tanya Kania "Aisyah kamu kenapa?" Kania kembali bertanya kepada
Aisyah dengan nada sedikit meninggi karena disepanjang jalan Aisyah hanya diam
tanpa berbicara sebilah kata apapun.
"Maaf Kania, Ayahku belum
sampai sekarang," jawab Aisyah yang sedikit kaget
karena mendengar lontaran nada Kania yang meninggi
"Aku yakin Ayahmu akan baik
baik saja," ucap
Kania.
"Andai saja ucapanku saat itu
mampu menahan kepergian Ayahku untuk melaut pasti sekarang Ayahku ada dirumah,
tapi Ayahku terlalu berambisi untuk membahagiakan anak anaknya,"
ucap Aisyah dengan mata yang mulai berkaca-kaca
"Sudahlah Aisyah, banyak
banyak berdoa semoga Ayahmu baik baik saja disana dan pulang dalam keadaan
selamat dan sehat," ujar Kania memberi nasihat agar
Aisyah selalu berdoa dan tak terlalu larut dalam kesedihan.
*****
Kelas
terasa begitu bising, ditambah trik matahari yang semakin membakar kulit
membuat ruang kelas terasa begitu lebih panas. Selang beberapa menit kebisingin
tersebut seakan terjeda karena suara seseorang yang mengetuk pintu kelasku.
Ternyata terlihat sekilas peci hitam dari balik jendel, ternyata itu bukan Pak
Ustad atau Pak Haji melainkan Bapak Kepala Desa atau sebut saja Pak Amir. Tapi
warga desa sekitar sering memanggil Pak Amir dengan sebutan Pak Kades, karena
Pak Amir baru saja menjadi Kepala Desa baru di desaku. Pak Amir baru saja
menjalankan tugasnya sebagai Kepala Desa sekitar delapan bulan. Hari ini Pak
Amir datang ke sekolahku entah ada urusan apa tapi Pak Amir memasuki ruang
kelasku.
"Assalamu'alaikum anak-anak,"
ucap Pak Amir.
"Wa'alaikumussalam Pak," jawab para siswa, siswi dengan serentak.
"Bapak ke sini mau cari
Aisyah, Aisyahnya ada?" Tanya Pak Amir kepada semua siswa.
"Iya, saya pak"
jawab Aisyah sembari mengacungkan tangannya untuk memberi isyarat
"Ikut bapak ya Nak, bawa
tasmu. Kita pulang sekarang"
"Tapi pak, ini belum waktunya
pulang," ucap Aisyah dengan raut wajah
kebingungan
"Gak apa-apa bapak sudah
mengijinkan kamu untuk hari ini pulang lebih awal"
"Iya pak"
Saat
itu juga aku diajak pulang lebih awal oleh Pak Amir, di sepanjang jalan
perasaanku begitu tidak enak. Aku ingin bertanya seakan sungkan, tetapi di situ
aku sedikit memberanikan diri untuk bertanya kepada Pak Amir.
"Pak kenapa saya diajak pulang
lebih awal?" Tanya Aisyah dengan raut wajah sedikit
sungkan
"Ayahmu sudah datang Nak,"
jawab Pak Amir
"Benarkah pak, Ayah saya gak
kenapa-napakan pak? Dia baik-baik ajakan pak? hati saya sudah yakin kalau Ayah
saya gak akan kenapa-napa pak."
"Ayahmu sedang istirahat Nak di
rumah dan menunggu kedatanganmu pulang"
"Saya sudah tidak sabar ingin
bertemu Ayah saya Pak.”
"Bersabarlah hatimu saat kamu
bertemu dengan Ayahmu." Ujar Pak Amir sambil
melontarkan senyum kecilnya kepada Aisyah.
Sepanjang
perjalanan hati ini terasa tenang bahwa ayahku sudah menantikan kehadiranku
untuk sampai dirumah. Selang beberapa waktu, seakan tak percaya bendera kuning
terikat tepat di pagar kayu rumahku. Ayat-ayat Al-Qur'an bergemuruh menghiasi
seisi ruang tamuku, para ibu-ibu dan bapak-bapak berlalu lalang dengan membawa
beras dan juga amplop yang berisikan uang. Apa yang terjadi? pertanyaan itu
yang masih mengambang di hati kecilku, kenapa bendera kuning tersebut harus
terikat di pagar rumahku untuk yang kedua kalinya. Aku berlari dan tergolek
lemas tepat didepan pintu rumahku, air mata ini sudah tak mampu dibendung.
Ayahku sudah terbujur kaku di lantai ruang tamu berbajukan kain terakhir berupa
kafan, wajahnya pucat ditambah kerutan dahinya yang semakin bergelombang.
Kucium kening Ayahku untuk yang terakhir kalinya "Ayah ingin bertemu Ibukan, cinta kalian abadi" batinku.
"Kak Ayah kenapa tidur?"
Tanya Andi. Andi adalah adik terakhirku usianya masih lima tahun. Saat ibuku meninggal
adikku ini masih berusia satu tahun.
“Ayah mau istirahat, jangan
diganggu dulu ya!” Ucapku lirih di hadapan adikku. Aku tidak
pernah bilang bahwa ayah dan ibu pergi untuk selamanya, karena aku tau
diusianya masih membutuhkan kasih sayang orang tua. Maka dari itu aku tak
pernah mengatakan bahwa mereka telah tiada, aku tau ini kebohongan terbesarku
tapi kejiwaan adikku lebih penting, disaat dia besar nanti pertanyaan itu akan
kujawab kembali, kemana perginya ayah dan ibu.
*****
Setelah pemakaman ayahku selesai,
rumah terasa begitu sunyi tak ada lagi canda dan tawa di setiap sudut rumahku.
Aku tau ini cobaan terbesar dalam hidupku, menjadi seorang yatim piatu dengan dua
adik yang sudah menjadi tanggung jawabku seutuhnya sekarang. Saat itu juga kugandeng
kedua tangan mereka, ku bawa ke pesisir pantai menikmati senja untuk melepaskan
kesedihan hari ini.
“Kak, apa kita masih bisa sekolah?”
Tanya Rania adik perempuanku
“Sekolah itu sudah pasti, Kakak gak
mau liat kalian berdua putus sekolah.” Jawab Aisyah
“Tapi Kak uang dari mana?”
Kembali terlontar dari mulut Rania pertanyaan yang seakan membuat bibir Aisyah
enggan untuk menjawabnya
“Itu biar Kakak yang pikir, kamu
tetap sekolah. Kalian berdua janji sama Kakak gak akan kecewain Kakak, belajar
yang rajin. Kakak gak mau liat hidup kalian berdua susah.” Jawab
Aisyah dengan mata sembabnya
“Janji.”
Jawab Andi dan Rania sambil mengacungkan jari kelingkingnya
Kepergian
Ayahku sempat membuatku putus asa, tapi karena dua adikku merekalah satu-satunya
harapanku untuk bangkit, dan hari itu aku bertekad aku tak akan menyerah
meskipun ujian datang bertubi-tubi padaku.
***
Dua
minggu sudah berlalu, rasa kehilangan tentu masih membekas tapi aku tidak mau
berlarut-larut dalam kesedihan, kujalani hidupku dengan sepenuh hati. Saat
dirasaku cukup di situ aku berhenti untuk tak terlalu larut dalam keadaaan
hidupku. Sekarang ini aku harus berjualan kue dari kampung ke kampung sebelah
untuk menjajakan jajananku, meskipun tak seberapa tapi cukup untuk memenuhi
kebutuhanku dan juga adik-adikku. Yang terus saja mempengaruhi otakku sampai
saat ini adalah aku sudah kelas 12 di mana anak seusia diriku sudah menyusun
impian kemana akan kuliah, tapi tidak untuk diriku. Bagiku SMA pun cukup untuk
menunjang kehidupanku, tapi namanya keinginan itu besar hanya saja harus
disesuaikan seberapa besar kemampuan. Kehidupanku saat ini adalah tolak ukurku
di situ aku dapat mengetahui sampai aku mampu dan sampai aku bisa. Yang
sebenarnya impianku setelah lulus SMA adalah menjadi Guru SD, sekajap suram
impianku. Itulah sedikit Imajinasiku di sela-sela jam kosong.
“Aisyah
ngelamun terus, belajar juga ngelamun.”
“Enggak
ko, Cuma ngantuk aja tadi pas guru jelasin.”
“Setelah
lulus SMA kamu mau kuliahkan, aku tau pasti jawabanmu tidak, tapi kali ini aku
menawarkan beasiswa.”
“Beasiswa?
Itu beneran, tapi aku gak yakin lolos. Perlu biaya jugakan untuk test.”
“Beasiswa
sekolah kesehatan, jadi dokter, di ULM salah satu sekolah ternama di Kalimantan Selatan, pendaftaran ditutup dua hari lagi.
Rugi kalau gak daftar siapa tau kamu masuk, kamukan pinter. Nanti aku bantu
kamu daftar lewat online kalau kamu mau.” Kania
menjelaskan kepada Aisyah soal kabar beasiswa tersebut
“Aku
mau Kania bantuin aku daftar ya,” pinta Aisyah
“Nah
ini handphone, kita buka aja webnya. Kita daftar dulu baru nanti kamu siapin
semua persyaratannnya.”
“Iya
Kania, makasih ya.”
“Sama-sama
Aisyah.”
Tepat
pukul 15;00 WITA bel berbunyi, waktunya aku untuk menjajakan jajananku. Karena
sepulang sekolah aku tidak langsung pulang melainkan harus keliling kampung.
Waktuku begitu banyak tersita untuk berkerja, hampir tak ada waktu untuk
membuka buku atau mempelajari kembali apa yang telah diajarkan ibu atau bapak guru
di sekolah. Sampai petang tiba aku masih saja berkerja yaitu mencuci piring
rumah tetangga yang memang saat itu membutuhkan jasa diriku untuk menyelesaikan
pekerjaan rumah. Pukul 20;00 WITA biasanya aku baru bisa membaringkan badanku
diranjang kayu dengan kasur tipis yang melapisinya.
“Andi,
Rania habis belajar, sholat isya jangan tidur terlalu malam takutnya kalau
tidur terlalu larut nanti kalian terlambat ke sekolah.”
“Kak
Aisyah kapan Ayah sama Ibu bangun?” tanya Andi si bungsu
“Emmm…..A..a..ayok
Andi sholat dulu.” Jawab Aisyah yang seakan mengalihkan
pembicaraan Andi.
“Ayo,
Dek sholat, Kak Aisyah capek jangan ditanya yang aneh-aneh dulu.”
Rania mengajak si bungsu Andi untuk segera beranjak agar tidak meneruskan
pembicaraannya dengan kakaknya Aisyah
“Iyak
Kak Rania.”
Pertanyaan
adiku Andi membuatku semakin berpikir, seiring berjalannya waktu dia akan
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan orang tuanya. Tapi aku tidak bisa
membayangkan kalau suatu saat dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa orang
tuanya memang benar-benar telah tiada. Yang aku takutkan adalah kejiawaannya
sekarang, di mana yang harusnya merasakan kasih sayang lebih, tapi memang
takdir berkata lain untuk dirinya.
*****
Satu
bulan berlalu,
“Aisyah
liat ini.” Teriak Kania dari balik pintu rumah Aisyah
“Kania,
kamu ngapain pagi-pagi ke sini. Ini jam 06;30 WITA!”
“Liat
ini, namamu masuk daftar sebagai siswa yang mendapatkan beasiswa.”
“Ini
benerankan.” Aisyah seakan tidak percaya dengan apa
yang dilihatnya saat ini, namanya terpilih sebagai salah satu siswa yang
mendapatkan beasiswa kuliah jurusan kedokteran. Seakan di alam bawah sadar, iya
mimpi ini bagaikan mimpi yang tak pernah terduga. Aku tau cita-citaku ingin
jadi guru SD tapi takdir telah menyusun kehidupanku ketempat yang lebih baik,
“Selamat
Bu dokter.”
“Makasih
ya Kania, kamu adalah teman yang selalu mebantuku dikala susah maupun senang.
Kamu taukan aku bukan dari keluarga terpandang, meskipun begitu kamu selalu ada
di sampingku untuk siap bantu aku kapanpun. Aku janji meskipun kita bakal terpisah
untuk kedepannya, aku janji gak bakal lupa sama kamu.”
“Ini
semua karena kerja keras kamu, aku hanya sebagai perantara untuk membantumu.”
Aku sontak memeluk Kania, karena Aku merasa banyak berhutang budi pada Kania. Putus asa bukan jalan untuk mengakhiri semuanya, tetapi bangkitlah yang akan mengakhiri ujian hidupmu. Karena Kemenangan itu berasal dari sejuta kegagalan karena keputus asaan, dan hari ini kegagalan tersebut sudah terbayarkan dengan kerja keras
Tags : Cerpen
SMAN 1 KARANG BINTANG
KI HAJAR DEWANTARA
- " Ing ngarso sang Tulodo " ( Di depan memberi Contoh )
- " Ing Madyo Mangun Karso " ( Di tengah Memberi Bimbingan )
- " Tut Wuri Handayani " (Di belakang Memberi Dorongan )
- : SMAN 1 KARANG BINTANG
- : 13 SEPTEMBER
- : TANAH BUMBU - KALIMANTAN SELATAN
- : smanonekarangbintang@gmail.com
- : 0852-4770-6777
Posting Komentar