Sabtu, 27 Maret 2021

CERPEN : KAU PULANG TINGGAL NAMA | NAJUNDA DWI CAHYANI

 

Jam dinding menunjukkan pukul 22:00 Wita, hujan lebat ditambah dengan angin mengguyur pesisir pantai pagatan. Disitu hatiku merasa gundah gulana karena Ayahku pergi melaut sejak dua hari yang lalu, Ayahku seorang nelayan, biasanya ayahku akan pulang setelah satu minggu dilautan lepas, dan entah kenapa sebelum ayahku pergi melaut aku punya banyak alasan untuk menahan Ayahku pergi, tapi disisi lain aku berpikir bahwa Ayahku harus bekerja memenuhi kebutuhanku dan dua adikku. Aku juga seorang piatu, ibuku meninggal empat tahun yang lalu saat usiaku menginjak 13 tahun. Ibuku menderita sakit keras tapi apa daya keluarga kami serba kekurangan, untuk makanpun susah apalagi harus membawa ibu kerumah sakit. Tak menjamin ayahku dapat membayar pengobatan ibuku, itulah alasannya kenapa ibuku hanya dirawat di rumah dengan alat medis tradisional.


Hujan tadi malam memporak porandakan pesisir pantai pagatan, sebilah kayu kayu besar hanyut dipermainkan oleh gelombang. Pohon pohon kelapa menunduk terkena angin yg terus berhembus tanpa henti, tak enyah hatiku semakin membabi buta karena keadaan yang kulihat sekarang. Ayahku belum juga pulang, tapi hati ini selalu yakin bahwa Ayahku akan baik baik saja di sana. Terombang ambing seperti serpihan bagang, berwarna merah menyala mendarat tepat dibibir pantai saat ini aku berpijak, aku seperti mengenali serpihan bagang ini tapi aku berpikir positif bahwa ini serpihan bagang warga lain yang sudah rusak atau tidak terpakai hanyut karena hujan lebat tadi malam.

"Aisyah ayo kita berangkat sekolah, sudah jam berapa ini." Teriak Kania teman satu SMA Aisyah.

 Kania adalah teman yang selalu membantuku dalam keadaan apapun. Meskipun Kania adalah anak dari saudagar bagang di desa ini dia tak pernah sama sekali memilih-milih teman. Aku salut padanya karena sikapnya yang rendah hati tak menunjukan sama sekali bahwa dia seorang anak dari keluarga terpandang.

"Oh iya Kania, ayo kita berangkat," jawab Aisyah sembari melambaikan tangan kanannya.

Diperjalanan menuju sekolah, tatapanku seakan kosong entah kenapa hati ini terus saja bergejolak. Ada yang terjadi dengan ayahku di sana, tapi semua pikiran itu keenyahkan dengan pikiran yakinku bahwa ayahku akan baik baik saja.

"Ayahmu belum pulang juga Aisyah?," tanya Kania "Aisyah kamu kenapa?" Kania kembali bertanya kepada Aisyah dengan nada sedikit meninggi karena disepanjang jalan Aisyah hanya diam tanpa berbicara sebilah kata apapun.

"Maaf Kania, Ayahku belum sampai sekarang," jawab Aisyah yang sedikit kaget karena mendengar lontaran nada Kania yang meninggi

"Aku yakin Ayahmu akan baik baik saja,"  ucap Kania.

"Andai saja ucapanku saat itu mampu menahan kepergian Ayahku untuk melaut pasti sekarang Ayahku ada dirumah, tapi Ayahku terlalu berambisi untuk membahagiakan anak anaknya," ucap Aisyah dengan mata yang mulai berkaca-kaca

"Sudahlah Aisyah, banyak banyak berdoa semoga Ayahmu baik baik saja disana dan pulang dalam keadaan selamat dan sehat," ujar Kania memberi nasihat agar Aisyah selalu berdoa dan tak terlalu larut dalam kesedihan.

*****

Kelas terasa begitu bising, ditambah trik matahari yang semakin membakar kulit membuat ruang kelas terasa begitu lebih panas. Selang beberapa menit kebisingin tersebut seakan terjeda karena suara seseorang yang mengetuk pintu kelasku. Ternyata terlihat sekilas peci hitam dari balik jendel, ternyata itu bukan Pak Ustad atau Pak Haji melainkan Bapak Kepala Desa atau sebut saja Pak Amir. Tapi warga desa sekitar sering memanggil Pak Amir dengan sebutan Pak Kades, karena Pak Amir baru saja menjadi Kepala Desa baru di desaku. Pak Amir baru saja menjalankan tugasnya sebagai Kepala Desa sekitar delapan bulan. Hari ini Pak Amir datang ke sekolahku entah ada urusan apa tapi Pak Amir memasuki ruang kelasku.

"Assalamu'alaikum anak-anak," ucap Pak Amir.

"Wa'alaikumussalam Pak,"  jawab para siswa, siswi dengan serentak.

"Bapak ke sini mau cari Aisyah, Aisyahnya ada?"  Tanya Pak Amir kepada semua siswa.

"Iya, saya pak" jawab Aisyah sembari mengacungkan tangannya untuk memberi isyarat

"Ikut bapak ya Nak, bawa tasmu. Kita pulang sekarang"

"Tapi pak, ini belum waktunya pulang," ucap Aisyah dengan raut wajah kebingungan

"Gak apa-apa bapak sudah mengijinkan kamu untuk hari ini pulang lebih awal"

"Iya pak"

Saat itu juga aku diajak pulang lebih awal oleh Pak Amir, di sepanjang jalan perasaanku begitu tidak enak. Aku ingin bertanya seakan sungkan, tetapi di situ aku sedikit memberanikan diri untuk bertanya kepada Pak Amir.

"Pak kenapa saya diajak pulang lebih awal?" Tanya Aisyah dengan raut wajah sedikit sungkan

"Ayahmu sudah datang Nak," jawab Pak Amir

"Benarkah pak, Ayah saya gak kenapa-napakan pak? Dia baik-baik ajakan pak? hati saya sudah yakin kalau Ayah saya gak akan kenapa-napa pak."

"Ayahmu sedang istirahat Nak di rumah dan menunggu kedatanganmu pulang"

"Saya sudah tidak sabar ingin bertemu Ayah saya Pak.”

"Bersabarlah hatimu saat kamu bertemu dengan Ayahmu." Ujar Pak Amir sambil melontarkan senyum kecilnya kepada Aisyah.

Sepanjang perjalanan hati ini terasa tenang bahwa ayahku sudah menantikan kehadiranku untuk sampai dirumah. Selang beberapa waktu, seakan tak percaya bendera kuning terikat tepat di pagar kayu rumahku. Ayat-ayat Al-Qur'an bergemuruh menghiasi seisi ruang tamuku, para ibu-ibu dan bapak-bapak berlalu lalang dengan membawa beras dan juga amplop yang berisikan uang. Apa yang terjadi? pertanyaan itu yang masih mengambang di hati kecilku, kenapa bendera kuning tersebut harus terikat di pagar rumahku untuk yang kedua kalinya. Aku berlari dan tergolek lemas tepat didepan pintu rumahku, air mata ini sudah tak mampu dibendung. Ayahku sudah terbujur kaku di lantai ruang tamu berbajukan kain terakhir berupa kafan, wajahnya pucat ditambah kerutan dahinya yang semakin bergelombang. Kucium kening Ayahku untuk yang terakhir kalinya "Ayah ingin bertemu Ibukan, cinta kalian abadi" batinku.

"Kak Ayah kenapa tidur?" Tanya Andi. Andi adalah adik terakhirku usianya masih lima tahun. Saat ibuku meninggal adikku ini masih berusia satu tahun.

“Ayah mau istirahat, jangan diganggu dulu ya!” Ucapku lirih di hadapan adikku. Aku tidak pernah bilang bahwa ayah dan ibu pergi untuk selamanya, karena aku tau diusianya masih membutuhkan kasih sayang orang tua. Maka dari itu aku tak pernah mengatakan bahwa mereka telah tiada, aku tau ini kebohongan terbesarku tapi kejiwaan adikku lebih penting, disaat dia besar nanti pertanyaan itu akan kujawab kembali, kemana perginya ayah dan ibu.

*****

 

            Setelah pemakaman ayahku selesai, rumah terasa begitu sunyi tak ada lagi canda dan tawa di setiap sudut rumahku. Aku tau ini cobaan terbesar dalam hidupku, menjadi seorang yatim piatu dengan dua adik yang sudah menjadi tanggung jawabku seutuhnya sekarang. Saat itu juga kugandeng kedua tangan mereka, ku bawa ke pesisir pantai menikmati senja untuk melepaskan kesedihan hari ini.

“Kak, apa kita masih bisa sekolah?”  Tanya Rania adik perempuanku

“Sekolah itu sudah pasti, Kakak gak mau liat kalian berdua putus sekolah.” Jawab Aisyah

“Tapi Kak uang dari mana?” Kembali terlontar dari mulut Rania pertanyaan yang seakan membuat bibir Aisyah enggan untuk menjawabnya

“Itu biar Kakak yang pikir, kamu tetap sekolah. Kalian berdua janji sama Kakak gak akan kecewain Kakak, belajar yang rajin. Kakak gak mau liat hidup kalian berdua susah.” Jawab Aisyah dengan mata sembabnya

“Janji.” Jawab Andi dan Rania sambil mengacungkan jari kelingkingnya

 

Kepergian Ayahku sempat membuatku putus asa, tapi karena dua adikku merekalah satu-satunya harapanku untuk bangkit, dan hari itu aku bertekad aku tak akan menyerah meskipun ujian datang bertubi-tubi padaku.

 

***

Dua minggu sudah berlalu, rasa kehilangan tentu masih membekas tapi aku tidak mau berlarut-larut dalam kesedihan, kujalani hidupku dengan sepenuh hati. Saat dirasaku cukup di situ aku berhenti untuk tak terlalu larut dalam keadaaan hidupku. Sekarang ini aku harus berjualan kue dari kampung ke kampung sebelah untuk menjajakan jajananku, meskipun tak seberapa tapi cukup untuk memenuhi kebutuhanku dan juga adik-adikku. Yang terus saja mempengaruhi otakku sampai saat ini adalah aku sudah kelas 12 di mana anak seusia diriku sudah menyusun impian kemana akan kuliah, tapi tidak untuk diriku. Bagiku SMA pun cukup untuk menunjang kehidupanku, tapi namanya keinginan itu besar hanya saja harus disesuaikan seberapa besar kemampuan. Kehidupanku saat ini adalah tolak ukurku di situ aku dapat mengetahui sampai aku mampu dan sampai aku bisa. Yang sebenarnya impianku setelah lulus SMA adalah menjadi Guru SD, sekajap suram impianku. Itulah sedikit Imajinasiku di sela-sela jam kosong.

 

“Aisyah ngelamun terus, belajar juga ngelamun.”

“Enggak ko, Cuma ngantuk aja tadi pas guru jelasin.”

“Setelah lulus SMA kamu mau kuliahkan, aku tau pasti jawabanmu tidak, tapi kali ini aku menawarkan beasiswa.”

“Beasiswa? Itu beneran, tapi aku gak yakin lolos. Perlu biaya jugakan untuk test.”

“Beasiswa sekolah kesehatan, jadi dokter, di ULM salah satu sekolah ternama di Kalimantan  Selatan, pendaftaran ditutup dua hari lagi. Rugi kalau gak daftar siapa tau kamu masuk, kamukan pinter. Nanti aku bantu kamu daftar lewat online kalau kamu mau.” Kania menjelaskan kepada Aisyah soal kabar beasiswa tersebut

“Aku mau Kania bantuin aku daftar ya,” pinta Aisyah

“Nah ini handphone, kita buka aja webnya. Kita daftar dulu baru nanti kamu siapin semua persyaratannnya.”

“Iya Kania, makasih ya.”

“Sama-sama Aisyah.”

 

Tepat pukul 15;00 WITA bel berbunyi, waktunya aku untuk menjajakan jajananku. Karena sepulang sekolah aku tidak langsung pulang melainkan harus keliling kampung. Waktuku begitu banyak tersita untuk berkerja, hampir tak ada waktu untuk membuka buku atau mempelajari kembali apa yang telah diajarkan ibu atau bapak guru di sekolah. Sampai petang tiba aku masih saja berkerja yaitu mencuci piring rumah tetangga yang memang saat itu membutuhkan jasa diriku untuk menyelesaikan pekerjaan rumah. Pukul 20;00 WITA biasanya aku baru bisa membaringkan badanku diranjang kayu dengan kasur tipis yang melapisinya.

“Andi, Rania habis belajar, sholat isya jangan tidur terlalu malam takutnya kalau tidur terlalu larut nanti kalian terlambat ke sekolah.”

“Kak Aisyah kapan Ayah sama Ibu bangun?” tanya Andi si bungsu

“Emmm…..A..a..ayok Andi sholat dulu.” Jawab Aisyah yang seakan mengalihkan pembicaraan Andi.

“Ayo, Dek sholat, Kak Aisyah capek jangan ditanya yang aneh-aneh dulu.” Rania mengajak si bungsu Andi untuk segera beranjak agar tidak meneruskan pembicaraannya dengan kakaknya Aisyah

Iyak Kak Rania.”

 

Pertanyaan adiku Andi membuatku semakin berpikir, seiring berjalannya waktu dia akan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan orang tuanya. Tapi aku tidak bisa membayangkan kalau suatu saat dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa orang tuanya memang benar-benar telah tiada. Yang aku takutkan adalah kejiawaannya sekarang, di mana yang harusnya merasakan kasih sayang lebih, tapi memang takdir berkata lain untuk dirinya.

 

*****

 

Satu bulan berlalu,

Aisyah liat ini.” Teriak Kania dari balik pintu rumah Aisyah

“Kania, kamu ngapain pagi-pagi ke sini. Ini jam 06;30 WITA!”

“Liat ini, namamu masuk daftar sebagai siswa yang mendapatkan beasiswa.”

“Ini benerankan.” Aisyah seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini, namanya terpilih sebagai salah satu siswa yang mendapatkan beasiswa kuliah jurusan kedokteran. Seakan di alam bawah sadar, iya mimpi ini bagaikan mimpi yang tak pernah terduga. Aku tau cita-citaku ingin jadi guru SD tapi takdir telah menyusun kehidupanku ketempat yang lebih baik,

“Selamat Bu dokter.”

“Makasih ya Kania, kamu adalah teman yang selalu mebantuku dikala susah maupun senang. Kamu taukan aku bukan dari keluarga terpandang, meskipun begitu kamu selalu ada di sampingku untuk siap bantu aku kapanpun. Aku janji meskipun kita bakal terpisah untuk kedepannya, aku janji gak bakal lupa sama kamu.”

“Ini semua karena kerja keras kamu, aku hanya sebagai perantara untuk membantumu.”

 

Aku sontak memeluk Kania, karena Aku merasa banyak berhutang budi pada Kania. Putus asa bukan jalan untuk mengakhiri semuanya, tetapi bangkitlah yang akan mengakhiri ujian hidupmu. Karena Kemenangan itu berasal dari sejuta kegagalan karena keputus asaan, dan hari ini kegagalan tersebut sudah terbayarkan dengan kerja keras

Tags :

SMAN 1 KARANG BINTANG

KI HAJAR DEWANTARA

  • " Ing ngarso sang Tulodo " ( Di depan memberi Contoh )
  • " Ing Madyo Mangun Karso " ( Di tengah Memberi Bimbingan )
  • " Tut Wuri Handayani " (Di belakang Memberi Dorongan )

  • : SMAN 1 KARANG BINTANG
  • : 13 SEPTEMBER
  • : TANAH BUMBU - KALIMANTAN SELATAN
  • : smanonekarangbintang@gmail.com
  • : 0852-4770-6777

Posting Komentar