Sabtu, 20 Februari 2021

CERPEN - REYA| GELAP TAK BERBULAN



Sore itu diselimuti awan mendung, butiran air di ujung dedaunan belum seluruhnya jatuh ke bumi, terlihat lelaki setengah baya dengan pakaian basah terguyur hujan duduk di sebelah makam yang baru seminggu lalu ditinggali seorang perempuan. Air mata lelaki itu sudah habis tersapu derasnya hujan, menyisakan senyum kecut dari sudut bibirnya yang sesekali menggigil menahan dingin.

Andaikan kamu mendengarkan kata-kata saya, mungkin semua tidak akan berakhir seperti ini Sarah, mengapa kamu terlalu naif,  andaikan... andaikan saja dari awal kamu menggunakan sedikit saja otakmu untuk berpikir, saya pastikan tidak akan secepat ini kamu pergi.” Suara parau itu terdengar datar penuh penyesalan.

Si lelaki masih menggenggam erat tiga tangkai bunga yang ia bawa, bunga yang paling Sarah sukai Semasa hidupnya.  Di sini hanya ada aku dan Pak Rislan, untung aku selalu membawa payung lipat di dalam tas hingga masih bisa terselamat dari kata basah kuyup, namun sayangnya itu belum cukup melindungiku dari masuk angin. Kepalaku terasa di tusuk-tusuk jarum,  kedua mataku berat sama persis ketika memakai bulu mata palsu 4 lapis dihari prewedding kemarin, dan nampaknya jari kakiku sudah mulai mengeriput menahan hawa dingin yang masih tersisa. Dua kaki yang semula berusaha untuk menopang tubuh mungilku akhirnya melambaikan bendera putih, aku duduk bersimpuh di sebelah makam itu tanpa memperdulikan pakaian putih yang sudah pasti akan bercampur dengan bubur tanah kecoklatan. Lebih kurang 2 jam kami disini, tak seperti hari-hari kemarin kali ini aku berhasil mengatur emosi dan sudah mulai menerima apa yang menjadi ketentuan dari Sang Pencipta. Kembali ku tatap lamat-lamat nisan yang terbuat dari kayu  ulin itu, sebuah nama terukir rapi di atasnya membuat syaraf otakku menampilkan secara jelas klise-klise cerita hidup dari seorang Sarah Yovanca.

xxx

15 tahun lalu Sarah dan ibunya pindah ke desa ini, Ibunya membeli rumah kosong yang ada di kanan rumahku. Tak ada seorangpun yang tahu perihal asal-usul mereka berdua, namun secara administratif Bu Dayah telah memenuhi syarat untuk menetap, saat itu umurku 9 tahun dan usia Sarah terpaut 3 tahun di bawahku. Awal perkenalanku dengan Sarah ketika aku sedang menggunting cabang-cabang mawar yang sudah kering di pekarangan rumah dan melihat ia  menangis sambil memeluk boneka beruang berwarna coklat. Aku mulai menghampirinya sambil membawa  sebungkus permen. “Adek kenapa nangis...? Mau permen?”  Tanyaku penuh kepedulian.

Ia masih menangis tersedu-sedu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan,sampai beberapa menit kemudian ia baru membuka suara.

“ Sarah gak kenapa-kenapa Mbak...ta...tadi sarah mecahin piring Ibu, tee..terus dimarahi.”  Masih sesenggukan menjawab pertanyaanku.

Ini permen coklat, kata Almarhum Mama permen coklat bisa bikin kita bahagia lhooo... cobain dulu deh.” Ku sodorkan permen itu kearahnya, senyum lebar mengembang di bibirnya terlihat sangat manis apalagi ditambah dengan sepasang lesung pipit yang menambah keayuan gadis cilik itu.

Terimakasih Mbak... nama Mbak siapa?”

Namaku Ghina Aprilia, Yuk main ke rumahku, kita main masak-masakan terus main dokter-dokteran gimana?”

Ayuk Mbak,  tapi Sarah izin sama Ibu dulu ya.” Sarah berlari ke dalam rumah, mencari Ibunya yang baru beberapa saat lalu memarahi Sarah karena kurang hati-hati.

“ Bu… bu…, Sarah main dulu ya, ke rumah Mbak Ghina?” Sarah berteriak mencari  Ibunya  sedang yang masih sibuk di kamar, memindahkan pakaian dari koper ke lemari.

“Bu.. Sarah keluar yaaaa...” Ucap Sarah berdiri di ambang pintu kamar ibunya.

“ Iya jangan nakal di rumah orang.”  Bu Dayah menjawab singkat tanpa menoleh sedikitpun ke arah anak semata wayangnya itu.

Sejak saat itu aku dan Sarah menjadi sangat dekat, walaupun sejatinya aku dan sarah hanya sebatas tetangga, namun entah kenapa seperti ada sesuatu yang mengikat hubungan persahabatan kami, Sarah sudah ku anggap sebagai adik kandungku begitu pula sebaliknya. Hari berganti hari, terlalu banyak cerita yang telah kami berdua lewati bersama. Sarah tumbuh menjadi gadis cerdas dengan bentuk fisik yang nyaris sempurna dan tentu saja segala aspek itu secara otomatis menjadikan ia sebagai salah seorang gadis yang paling populer di sekolah. Sedangkan aku sekarang sudah bekerja di salah satu perkebunan kelapa sawit di desa tetangga dan menduduki posisi personalia setelah sebelumnya di bagian kerani. Tak jarang aku mendengar bisik-bisik lebah yang gemar membandingkan diriku dengan Sarah terutama masalah fisik.  Tapi semua itu tak pernah berhasil membuat hubungan kami renggang.

Siang itu seperti biasa Sarah menemaniku ke gereja di akhir minggu, namun entah mengapa aku merasa ada yang berbeda dari sikapnya. Sepanjang perjalanan ia tak berniat untuk membuka pembicaraan, hanya diam menatap kosong ke arah  pepohonan yang bergerak semu di pinggiran jalan. Sampai akhirnya Sarah memelukku dari belakang, menyodorkan gawai miliknya sambil memberiku isyarat untuk meletakkan benda itu di kantong motor, kemudian samar-samar kudengar iya berbisik pelan di telinga kiriku.

 “ Mbak... Sarah sayang Mbak.. Mbak sayang Sarah nggak?” Masih dalam posisi memelukku.

“ Hahaha... Ya sayang lah, masa tidak. Emangnya kenapa sih tumben nanya gitu? Ibu mu marah lagi? gara-gara kamu gak pernah nurutin perintahnya buat kamu jauhin Mbak?”  Aku balik bertanya.

“ Ya, begitulah Mbak, aku juga heran sama Ibu. Dari kecil kita sama-sama, sampai aku sekarang kelas 2 SMA, Ibu selalu aja marah-marah dengan alasan yang sama sekali gak rasional menurutku. Beda banget sama Ayahnya Mbak,  ramah, selalu baik sama aku, terus sampai seperti beneran jadi Bapak angkat ku... emmm maafin Ibu ku ya Mba” panjang lebar kali tinggi Sarah mengutarakan permohonan maafnya padaku, yang sebenarnya telah berulang kali diucapkannya dengan kata-kata yang sama persis.

“ Hahaha Rah... Rahh..., lagian Ibu mu dah  Mbak anggap kaya orang tua sendiri. Mungkin beliau cuma khawatir kalau anak satu-satunya ini lecet ketika Mbak bawa kemana-mana.”

Aku berusaha mencairkan suasana, meskipun sebenarnya ada rasa tersinggung yang ku tutupi manakala ku dengar Bu Dayah memakiku dengan kata kasar. “ Yuk turun Rah..” suaraku menyadarkan sarah yang ternyata sedang melamun entah memikirkan apa.

“ Aaa... siap Mbak aku turun.” Katanya dalam keadaan setengah sadar.

Ini buat beli es krim, tunggu di kursi biasanya ya... Mbak masuk dulu.” Aku menyodorkan selembar uang berwarna biru.

“ Oke...” jawabnya singkat.

Setiap untaian doa selalu ku sebut nama mendiang mama,terlalu banyak teka-teki yang belum terjawab dalam hidupku yang tentu saja akan ku tanyakan pada mama andai kata mama masih ada di sini. Untungnya ada Sarah yang selalu menemaniku, menjadi adik. Tiap saat membantuku mengurangi rasa sepi. Setelah selesai dengan keperluanku di dalam rumah Tuhan, langsung saja aku mencari Sarah. kursi biru di ujung taman  ia menungguku dengan sepotong es krim kesukaan nya. Lagi-lagi ku sadari jika Sarah sedang melamun, ia sama-sekali tak merasakan kehadiranku di sebelahnya.

“Dooorrrrr....!” Teriakku sambil menepuk pundak Sarah, tapi bukannya Sarah yang terkejut tetapi aku yang lebih dibuatnya terkejut, bagaimana tidak siapa yang akan menyangka jika ia akan meneriakkan nama lelaki yang tak pernah lepas dari pikiranku sebagai bentuk refleksnya .

“ Maa.. maaf Mba Ghin.... aku gak sengaja..” bisiknya lirih

“ Emm... Iya Rah maafin aku juga, harusnya aku gak kagetin kamu tadi.” Sebuah senyum simpul kuhadirkan sebagai penutup ekspresi terkejut.

“Mbak aku mau cerita.”  Sarah memecah keheningan membangunkanku dari khayalan yang sudah tak terkendali.

xxx

Gelap tak berbulan bintang-bintang tak bertuan segan menampakkan rupa barang sekelip, dan pada akhirnya gulita yang mengambil peran utama dalam pekatnya malam. Ku hirup kopiku sampai mendekati ampasnya, manis gula yang bercampur di dalam nya memudarkan ciri khas dari kopi itu sendiri. Jangan khawatir segelap apapun malam takkan berarti apa-apa jika ada listrik mengalir di rumahmu yang memberi kekuatan ajaib pada bolam-bolam lampu hingga mereka bisa membuatmu lupa bahwa ada yang lebih indah dari harapan tanpa kepastian, yakni menatap langit di luar jendela sambil mengagumi segala ciptaan Tuhan. Hari ini pertama kali sejak kepergian mama, hatiku kembali tergores luka yang teramat dalam. Pelan-pelan ku coba menyusun tiap potongan kejadian yang baru ku sadari jika semua bukan kebetulan, namun sebanyak apa hatiku berusaha menerima sebanyak itu pula logikaku dengan kukuh menolak.

xxx                   

Suatu hari Sarah memberikan beberapa pernyataan yang membuatku diam seribu bahasa. Ia membuatku merasa seperti berlayar dengan sebatang korek api yang diletakkan persis di tengah laut lepas. Semua sudah keluar dari lisan gadis manis berhijab itu, semua tentang aku, dia, keluarga kami, dan lelaki itu. Awalnya semua berjalan lancar, sampai pada suatu titik di kursi taman Sarah tiba-tiba memelukku tak kuasa menahan deraian air mata, ku duga keluh-kesah itu telah ia simpan dalam waktu yang cukup lama. Lembut ku belai pundaknya, sebisa mungkin memberikan ketenangan. Di sela tangisan tanpa suara itu, lirih dia memanggilku dengan sebutan “Kakak”, tanpa ku tau apa yang Sarah maksud sebenarnya. Sepersekian detik kemudian ia melepaskan pelukanku, mengatur nafasnya yang tersengal-sengal seperti pedagang sosis dikejar anjing gila, kemudian satu-persatu kenyataan mulai terungkap. Mamaku bukan Mamanya Sarah, Ibunya Sarah juga bukan Ibuku, tapi Ayahku adalah Ayah biologis Sarah. Seketika satu pertanyaanku selama ini terjawab, mengapa Bu Dayah sangat membenciku namun terkesan selalu memberikan perhatian lebih pada ayah sejak awal mereka hadir dalam lingkunganku, mengapa pula Ayah menyimpan foto seorang gadis yang sangat mirip dengan Bu Dayah di dompet lusuhnya bukanya menyimpan foto mendiang Mama. 

Belum cukup sampai disitu, masih ada hal yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya, bahkan calon suamiku tak mau ketinggalan untuk membuatku hancur. Ternyata Mas Vian tega main gila di belakangku, bukan bersama perempuan penggoda di luaran, bukan juga dengan janda genit penjaga warung kopi di pertigaan desaku, tapi bersama adik kecilku yang cantik siapa lagi kalau bukan Sarah. Sudah delapan hari aku menghentikan semua aktivitasku. Tak ada pekerjaan, tak ada mengatur rumah, dan tidak pula aku memperdulikan keperluan ayah untuk mengajar di SMP dekat rumah. Untung  saja masih ada layanan pesan makanan online yang bisa ku andalkan. Ampas kopiku masih terasa hangat, semilir angin dimalam itu menembus cardigan tebal yang aku kenakan, dengkuran Ayah terdengar bersahutan dengan suara jangkrik.

Dari belakang rumah samar-samar ku lihat lampu merah yang berkedip dari arah rumah Bu Dayah terlihat seperti mobil ambulance . Di dalam hatiku ada keingintahuan yang menyeruak meminta untuk ku puaskan, sayangnya kekecewaanku terlalu besar dan berhasil mengalahkan sisi  kepedulianku. Ku tinggalkan rasa penasaran itu di bangku rotan belakang rumah, untuk kemudian kembali ke pulau busa  melanjutkan aktivitas  yang menuntutku untuk menutup mata dan sejenak melupakan setumpuk problematika hidup yang mungkin penghentinya hanyalah kematian.

“Dreett..dreettttt...” mode getar ponselku berbunyi menandakan masuknya sebuah pesan. “Huufftt....” ku hembuskan nafas kesal tatkala kulihat nama dari si pengirim.

“ Pagi ini ku tunggu di tempat biasa jam delapan tidak ada alasan apapun untuk menolak.” Pesan singkat yang benar-benar singkat namun mampu membuat mata 5 watt ku terbangun.

Ku hampiri dia yang sedang melemparkan kerikil kecil ke  tengah danau, beberapa saat kemudian kami masih berkutat dengan pikiran masing-masing meskipun ia telah menyadari kehadiran ku. Aku dengan pertanyaanku dan dia dengan pernyataannya yang ku tau sebentar lagi akan mengantri untuk di lontarkan. Sepersekian detik kemudian kuberanikan diri untuk membuka kata.

“ Ada apa Mas... Ada perlu apa lagi dengan saya?” Suaraku ku buat setenang mungkin.

“ Kamu pasti sudah tau Dek kenapa Mas ajak kamu ke sini?” Tanpa menoleh ke arahku.

“ Gak ada yang saya tau Mas, yang saya tau cuma kamu dan Sarah khianati saya. Tega kamu ya! Hebat kalian, laki-lakinya tukang selingkuh perempuan nya kecil-kecil dah jadi pengg...” perkataan ku terputus oleh suara laki-laki di sebelahku.

“ Cukup!.... sudah jangan diteruskan. Saya  mohon Dek tahan emosimu sebentar, dengarkan penjelasan saya baik-baik.” Suara itu terkesan setengah membentak.

“Silahkan.” Aku berusaha menahan buliran bening di ujung mataku.

“ Sarah ada di Rumah Sakit, saya rasa kamu sudah tidak peduli lagi kan? Mengapa saat itu kamu langsung pergi sebelum Sarah selesai menceritakan apa yang terjadi sebenarnya, mengapa kamu begitu gegabah untuk menyimpulkan suatu masalah?” Mata coklat itu menatap tajam ke arahku.

“lantas menurut Mas apa yang bisa saya lakukan selain pergi? Sekarang apalagi yang Mas mau? Soal sarah maaf saya belum bisa memaafkannya.” Habis sabarku dalam percakapan yang terlalu bertele-tele.

“Saya dan Sarah tidak pernah mengkhianati kamu, memang benar dia menyukai saya tapi dia tidak akan pernah menghianati Kakak nya. di tempat ini, Sarah mengungkapkan perasaan nya ke saya Dek. Kita sudah sampai di sini, mustahil saya mengorbankan semua yang kita bangun, jadi saya mohon berhenti bersikap seperti anak kecil. Sekarang ikut saya ke Rumah Sakit, saya tau kamu sangat merindukan nya.” Halusnya suara lelaki itu tak pernah berubah sejak pertama kali kami bertemu sekitar tiga tahun lalu, lembut tangannya membelai rambutku yang kubiarkan tergerai rapi sebatas bahu.

Sesampainya di RS, aku berjalan di belakang calon suamiku, dengan rasa cemas yang luar biasa ku susuri beberapa koridor, naik ke lantai dua menggunakan lift. Kami menuju kamar Sarah, dari jarak yang tidak terlalu jauh dapat terlihat pintu kamar itu terbuka. Samar-samar ku dengar isakan tangis dari kamar itu. Kupercepat langkah kaki ku , dan terhenti di ambang pintu manakala ku lihat Bu Dayah memeluk tubuh anaknya yang masih terasa hangat sambil meraung-raung menyebut nama Tuhan.

Dan saat ini aku duduk bersama seorang lelaki paruh baya, yang baru beberapa saat lalu ku kenal. Iya berhasil meyakinnkan ku bahwa kepergian Sarah bukan hanya karena penyakit maag kronis yang dideritanya, namun ada hal besar yang masih Sarah sembunyikan dari ku. Entah mengapa pula yang membuat mendiang Sarah menyimpan sebotol obat penenang dan bungkus tespek tanpa isi di lemari kamarnya. Tapi aku percaya adik ku gadis baik-baik, Sarah memintaku untuk lekas meresmikan hubungan ku dengan Mas Vian dan dengan senang hati memenuhi permintan terakhir yang dituangkannya dalam secarik kertas itu. Dan pada akhirnya semua berjalan seperti 15 tahun yang lalu, aku dan ayah dengan kalung salib kami, sedangkan mendiang Sarah dan Ibunya tak pernah lepas dari lantunan tasbih.

Karya : ReyaXIIPA


Tags :

SMAN 1 KARANG BINTANG

KI HAJAR DEWANTARA

  • " Ing ngarso sang Tulodo " ( Di depan memberi Contoh )
  • " Ing Madyo Mangun Karso " ( Di tengah Memberi Bimbingan )
  • " Tut Wuri Handayani " (Di belakang Memberi Dorongan )

  • : SMAN 1 KARANG BINTANG
  • : 13 SEPTEMBER
  • : TANAH BUMBU - KALIMANTAN SELATAN
  • : smanonekarangbintang@gmail.com
  • : 0852-4770-6777

Posting Komentar